Ini adalah tulisan yang dulu sekali terpikir untuk saya tulis, tapi saya tahan sekian lama karena saya tidak yakin. Pada akhirnya saya putuskan untuk menulis di blog saya dalam rangka 30 Hari bercerita.
Menurut sebuah penelitian, seorang dewasa hanya bisa menjaga pertemanan sebanyak 150 orang yang menjadi lingkaran pertemanan. Selebihnya, statusnya hanya sebagai kenalan dan IG Stories viewer. Itulah sisi tidak enak menjadi dewasa adalah semakin kecilnya lingkaran pertemanan yang bisa dijaga. Apalagi ketika kita sudah terikat dengan lembaga bernama keluarga. Itu akan semakin menyempitkan lingkaran pertemanan karena masalah prioritas.
Sebenarnya, dari dalam lubuk hati yang paling dalam, saya sangat ingin tetap menjaga perteman dengan banyak orang seperti pertemanan yang saya dapat dari SMA bahkan dari SD mungkin. Saya tidak ingin bersembunyi dan mencari alibi di balik introvert 98% yang saya miliki, namun menjaga pertemanan memerlukan effort yang sangat besar. Bahkan mungkin bagi extrovert pun tidak mudah.
Saya merasa sangat senang tetap diundang dan datang ke pernikahakn teman SMA, ikut merasa bahagia ketika teman menempati rumah barunya, ikut senang ketika melihat kelucuan anak dari teman saya. Saya sangat senang itu. Saya menganggap reuni, ketemuan saat pernikahan atau nongkrong sambil ngopi adalah saran kita menjaga pertemanan kita. Namun perlu diingat, inipun menyimpan resiko dan masalah.
Saat kita bertemu dengan teman lama, namun mempunyai identitas yang baru, suasana baru, atau konteks yang baru. Mereka bukan teman sekolah kita yang ke kantin, mengerjakan PR, atau membuat kegaduhan bareng-bareng di kelas. Bukan. Mereka dan diri kita sudah mempunyai pribadi yang benar-benar baru. Si A adalah dokter yang bekerja di rumah sakit, si B adalah manajer BUMN di Jakarta, si C adalah pengusaha makanan di kota asal, dan si D adalah buruh tani di desa.
Bukan hanya tingkat ekonomi, konteks keluarganya pun berbeda. Ada yang sudah punya anak, ada yang berusaha keras mempunyai anak, ada yang berusaha mendapatkan jodoh, ada yang mengalami perceraian dan ada yang masih santai melajang.
Saat masih sekolah, percakapan kita sangat menyatu karena apa yang kita alami cenderung sama walau latar belakang keluarga berbeda. Semua orang masih bisa nyambung dan menimpali. Tidak ada orang yang ditinggalkan saat kita ngobrol. Bagaimana saat reuni? Sangat sulit obrolan kita tidak menyinggung atau meninggalkan salah satu atau beberapa teman kita di belakang. Kita sangat kesulitan mencari topik yang bisa menyatukan kita lagi. Ngobrol tentang kenangan kita saat sekolah adalah topik yang paling aman. Celakanya adalah dengan tidak sadar, beberapa orang memunculkan obrolan yang tidak nyambung ke semua orang dan akhirnya ada yang merasa tertinggal di belakang.
Reuni atau ketemuan adalah sarana untuk menjaga pertemanan kita. Sebuah acara yang sangat menyenangkan sekaligus menyimpan bom waktu jika tidak disikapi dengan bijakasana. Karena itu, tidak sedikit yang akhirnya memutuskan tidak datang ke reuni atau bahkan takut untuk menjalin hubungan komunikasi dengan teman lama.
Saya sangat kangen sama kalian, tapi bisakah kalian tidak membicarakan tentang keluarga karena saya masih sangat berat akan hal itu?
Saya sangat kangen sama kalian, tapi bisakah kita tidak membicarakan pekerjaan karena ada yang masih berusaha keras mendapatkannya?
Saya sangat kangen sama kalian, tapi bisakah tidak ada pertanyaan kapan nikah, kapan punya anak, dan pertanyaan sejenis itu?
Bisakah kita hanya ngobrol tentang tempe penyet di kantin, olahraga di lapangan belakang atau memberi kejutan ke guru kita saat ulang tahun dulu?
Saya sangat kangen sama kalian, tapi bisakah kita menjadi seperti yang dulu?
***
#30HariBercerita ke hari 10 mulai goyang kapteeennn… Tulisan ini agak panjang walaupun aslinya lebih panjang karena ini curhatan yang sudah lama ingin ditulis di blog.
Photo by Raghu Nayyar on Unsplash
Tidak ada komentar:
Posting Komentar