Catatan Kecil

Selasa, 06 Agustus 2024

Surat Kangen untuk Internet

Agustus 06, 2024 0
Surat Kangen untuk Internet


 

Andai saya punya mesin waktu di laci meja, saya akan kembali di sekitar tahun 2010 sampai di tahun 2018. Tahun-tahun di mana saya benar-benar menikmati apa yang ada pada dunia internet. Saya hampir bisa menikmati semua platform mulai dari facebook, twitter, blog, dan awal kemunculan Instagram. Saat ini saya masih mempunyai akun di semua platform itu, tapi banyak hal yang saya sukai hilang.

Minggu, 13 Februari 2022

Dahlan Iskan dan Korannya

Februari 13, 2022 0
Dahlan Iskan dan Korannya

Minggu lalu, saya senang ketika teaser Beginu minggu lalu keluar. Saya menyaksikan di akun Instagram milik Wisnu Nugroho. Bintang tamu kali ini adalah tokoh senior di industri media cetak, Dahlan Iskan. Dari teasernya tergambar bahwa Pak Dahlan akan bercerita tentang Jawa Pos. Oh, mungkin karena menyambut Hari Pers, pikir saya. Setelah video penuhnya terbit, benar saja Pak Dahlan bercerita tentang Jawa Pos dan pers.

 


Saya begitu senang karena Pak Dahlan dan Jawa Pos adalah dua hal yang sangat berpengaruh di hidup saya. Khususnya di bagian kehidupan literasi. Kegemaran saya membaca dibentuk salah satunya oleh Jawa Pos. Untuk hal-hal menulis blog dan opini, saya mencontek banyak dari tulisan Pak Dahlan. Dalam tulisan ini, saya akan bercerita lebih dalam tentang Pak Dahlan dan koran yang dibesarkan beliau itu.

 

Untuk diketahui konteksnya, sepengamatan saya saat kecil, ada dua koran yang paling sering dibaca di Jawa Timur, Jawa Pos dan Surya. Jawa Pos menempati koran dengan harga yang mahal, setara dengan Kompas. Untuk Surya, dia mengisi pasar yang lebih murah. Itu sepengamatan saya saat kecil, saya tidak menemukan data pastinya.

 

Ayah saya adalah orang yang juga suka membaca, walau sepenglihatan saya tidak terlalu gemar membaca banget. Hal yang pasti dia baca tiap hari adalah koran. Setiap pagi di sela jam kerja, dia membaca koran. Dia berlangganan koran dan koran itu adalah Jawa Pos. Setiap pagi sejak saya TK, saya melihat wujud Jawa Pos di rumah saya.

 

Saya lupa persisnya kapan saya mulai membaca koran. Jika saya tebak, mungkin kelas 5 SD akhirnya saya ikutan membaca koran. Semenjak saat itu, saya rutin membaca Jawa Pos. Saat SMP saya selalu rebutan membaca Jawa Pos dengan Pak Satpam di perpustakaan sekolah sebelum masuk kelas. Saat SMA, saya membaca Jawa Pos di rumah setelah pulang sekolah. Hal itu berlanjut sampai saya lulus SMA.

 

Saat kuliah di Bandung, saya tidak membaca Jawa Pos. Jawa Pos tidak dijual di pedang koran dekat kampus. Saya tidak tahu apakah Jawa Pos memang tidak dijual di Bandung ataukah memang  mamang penjual koran tidak mengambil Jawa Pos. Akhirnya saya berpindah ke Kompas di awal bulan dan Koran Tempo di akhir bulan.

 

Balik lagi ke Jawa Pos, saat itu Jawa Pos dibagi menjadi tiga bagian. Bagian utama, Radar Kediri, dan Olahraga. Mungkin pada bagian utama, saya membaca sebagian besar artikel, baik dari politik, ekonomi dan internasional. Mungkin yang saya agak sering lewati adalah di bagian ekonomi bisnis karena banyak istilah yang saya belum paham saat itu. Untuk bagian Radar Kediri, saya membaca selintas saja karena saya tidak terlalu terarik dengan berita lokal. Saya tidak pernah menyentuh bagian olahraga, karena memang saya tidak tertarik dengan olahraga.

 

Dari membaca Jawa Pos mulai SD hingga SMA itulah daya tahan saya dalam membaca terlatih. Saya bisa duduk cukup lama untuk membaca Jawa Pos. Hal itu berdampak ke kegemaran saya membaca buku saat dewasa. Itulah mengapa saya menyebut jawa Pos adalah hal yang sangat berpengaruh di hidup saya. Apakah saya masih membaca koran? Saya menuliskannya di kiriman ini.

 

Saya kadang membaca rubrik Catatan Dahlan Iskan, kolom yang diampu oleh sang CEO sendiri. Rubrik ini ada seminggu sekali. Saya mulai rutin membaca Catatan Dahlan Iskan ketika beliau menceritakan pengalamannya dalam menjalani transplantasi hati. Saat itu, beliau menderita sirosis sehingga hati miliknya harus diangkat dan diganti oleh hati milik pendonor. Pengalaman beliau menjalani pengobatan di Tiongkok inilah yang beliau tuliskan di Catatan Dahlan Iskan. Diberi judul khusus, yaitu Ganti Hati. Pada akhirnya, kumpulan catatan ini diterbitkan dalam buku berjudul Ganti Hati.

 

Saya begitu menyukai tulisan beliau. Strukturnya enak, ringkas namun tetap menampilkan hal-hal detail dan kecil. Saya merasa tidak membaca opini yang njlimet padahal kadang topiknya berat. Saya seperti didongengin seseorang dalam penuturannya. Kekuatan tulisan beliau ada pada kemampuan story telling yang sangat kuat dan mengalir.

 

Hal yang paling saya sukai dari tulisan beliau adalah opininya berani dan otentik. Beliau tidak takut mengemukakan pendapat walau pendapatnya tidak jamak di khalayak. Dengan argument yang runtut, beliau dapat menjelaskan alasan di balik pernyataan sikap. Kedua adalah, beliau sering mengambil sudut pandang yang tidak umum. Seringkali sudut pandang yang tidak terpikirkan oleh saya.

 

Dari tulisan-tulisan beliau saya belajar tentang struktur penulisan dan gaya bahasa di awal saya nulis blog. Bahkan saya contek struktur tulisannya. Saya ingin menjadi Dahlan Iskan singkat kata. Tentu saja tidak pernah sebaik beliau, tapi setidaknya saya berlatih menulis dengan struktur yang tidak awut-awutan.

 

Beliau saat ini masih menulis setiap hari di Disway, sebuah media yang beliau dirikan. Gaya tulisannya berubah menyesuaikan karakter pembaca saat ini. Walapun saya lebih menyukai tulisan beliau yang dulu, beliau tidak kehilangan nakalnya dalam beropini.


Photo by Ashni on Unsplash

Minggu, 06 Februari 2022

New Endings Jakarta

Februari 06, 2022 0
New Endings Jakarta

Setelah di tulisan sebelumnya saya melakukan refleksi selama saya tinggal di Jakarta, izinkan kali ini saya membagi awang-awang ke depan. Awang-awang yang berupa harapan dan kekhawatiran sekaligus. Saya membagi menjadi tiga bagian utama: Perpindahan Ibukota, Iklim, dan kesempatan hidup. Tulisan ini juga sebagai penutup seri #30HariBercerita tentang Jakarta.

 


Saya pernah diskusi dengan beberapa orang tentang isu perpindahan ibukota Indonesia. Kami tidak membahas alasan, kajian dan anggaran. Biarlah itu jadi urusan bapak-bapak di atas sana. Kami membahas pertanyaan besar, “Bagaimana wajah Jakarta tanpa gelar DKI?” Kami ngobrol ngalor ngidul tentang ini, namun kesimpulan kami sama. Jakarta akan tetap menjadi Jakarta. Jakarta sudah mempunyai identitas dan kepribadian lebih dari gelar DKI.

 

Dengan pindahnya ibukota, kamu akan tetap menemui tetanggamu yang jualan nasi uduk. Kamu masih bisa menyapa abang penjaga warkop favoritmu. Jakarta juga masih punya Monas. Pasar Minggu tetap tidak libur walau hari minggu. Kami menduga, seluruh kehidupan dan interasi sosial tidak mengalami pergeseran yang berarti. Hanya para abdi negara yang akan terdampak karena harus pindah. Dari itu semua, kami berharap dengan pindahnya para pejabat ke ibukota baru, voorijder yang menyebalkan itu akan lenyap dari jalanan Jakarta.

 

Bagian kedua adalah tentang iklim. Tidak banyak orang Jakarta yang menyadari bahwa kehidupan kota ini terancam dengan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Untuk melihat orang-orang yang paling terdampak terhadap kerusakan lingkungan, kamu bisa berjalan-jalan ke Jakarta bagian utara. Penurunan ketinggian tanah begitu masif dan dirasakan langsung. Mereka terpaksa bersahabat dengan banjir rob.

 

Belum lagi tentang krisis air bersih. Cakupan layanan PAM Jakarta baru menyentuh 65% dari total penduduk (suara.com, 2020). Masih banyak yang kesulitan mengakses air bersih padahal akses terhadap air bersih merupakan hak setiap warga negara. Akhirnya mereka terpaksa menggunakan air tanah. Penggunaan air tanah ini akan mempercepat penurunan ketinggian tanah di Jakarta.

 

Kualitas udara, pengelolaan sampah, banjir, pendangkalan sungai dan sebagainya masih menjadi catatan panjang pekerjaan rumah di bidang lingkungan. Diharapkan pemegang kebijakan mempunyai roadmap perbaikan dan regulasi akan hal ini. Mengurangi penggunaan sedotan plastik memang baik, namun regulasi plastik industri akan berdampak lebih besar.

 

Hal ketiga adalah kesempatan hidup. Saya bukan ahli ekonomi, namun ini yang saya lihat dan rasakan. Akses ekonomi dan akses ruang hidup masih jadi sorotan utama. Berdasarkan kajian tim Anies-Sandi saat pilkada, kemampuan daya beli kebutuhan pokok menjadi isu utama bagi penduduk Jakarta. Mungkin tidak pernah terdengar di sosial media, namun itu kenyataan yang dihadapi.

 

Untuk kelas menengah, kesulitan untuk ruang hidup (tempat tinggal) jadi perbincangan. Melipir ke luar Jakarta menjadi pilihan yang sering diambil walaupun istilah tua di jalan harus dihadapi.

 

Apakah kamu masih optimis tentang Jakarta? Masih ada lilin harapan walau kadang redup. Hidup di Jakarta memang penuh dengan semoga.

Refleksi Sewindu di Jakarta

Februari 06, 2022 0
Refleksi Sewindu di Jakarta

Saya mengingat lagi kapan saya pertama kali berkenalan dengan Jakarta. Tahun 2010 akhir tepatnya saya menginjakkan kaki pertama kali ke kota yang sebelumnya cuma bisa saya lihat melalui televisi. Tidak pernah terbayangkan seorang anak yang besar di pelosok desa di Jawa Timur bisa menginjakkan kaki di Jakarta. Kala itu saya cuma sebentar di Jakarta. Ada sebuah acara di stasiun televisi di daerah Kebon Jeruk.

 


Kesan pertama adalah panas. Saat itu saya hidup di Bandung. Walaupun hidup di Dayeuh Kolot yang juga panas dan berdebu, saya tidak membayangkan Jakarta sepanas itu. Selama menaiki transportasi umum, beberapa kali saya terjebak macet. Ruwet sepertinya. Di jam pulang kerja, saya melihat pekerja di Jakarta yang menunjukkan wajah lelah. Jakarta menjadi kota yang tidak saya idamkan untuk saya tinggal dan bekerja.

 

Melompat di tahun 2014, akhirnya saya diterima kerja di Jakarta. Pada tanggal 1 Januari 2014, saya resmi menjadi penduduk Jakarta (walau KTP masih Jatim). Saya mulai berkenalan lebih intens dengan Jakarta. Tidak semua menyenangkan, namun tidak semua mengerikan. Jakarta itu seperti sahabat yang menyebalkan. Awal kenal, pasti kamu sebal dan bikin marah. Makin kenal, saya makin tahu sis baiknya. Bahkan beberapa kali dia membantu saya saat kesulitan. Nah itulah Jakarta.

 

Stockholm Syndrome kata orang. Kamu akan simpati bahkan jatuh cinta kepada orang yang menawanmu dalam tahanan. Kamu tidak sadar apa yang terjadi. Tahu-tahu, kamu akan bersahabat dan tidak ada keinginan untuk meninggalkannya. Saya mulai mengenal orang-orang baik, tempat-tempat menyenangkan, sejarah yang mengasyikkan, atau kesempatan yang sebelumnya tidak ada.  Saya teringat dengan jelas ketika Irwan Ahmett mengucapkan kalimat ini di TEDx Jakarta, “Sulit hidup di Jakarta, tapi jauh lebih sulit untuk dapat meninggalkannya.”

 

Wualaa... Saya akhirnya di sini. Apakah Jakarta ini menjadi tempat persinggahan sebelum melanjutkan ke kota lain? Saya belum tahu. Namun selama hidup di Jakarta, saya setidaknya mencoba untuk tetap bermain di dalam segala keterbatasan yang ada. Saya mencoba untuk menjadikan Jakarta tempat yang menyenangkan untuk ditinggali.

Sabtu, 05 Februari 2022

Kebanggaan Umat

Februari 05, 2022 0
Kebanggaan Umat

Namanya harus disamarkan menjadi Ketuhanan saat dia mengajukan rancangannya ke panitia pembangunan. Panitia diketuai langsung oleh Presiden Soekarno sedang memilih rancangan terbaik yang akan menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara tersebut. Di akhir perlombaan, pemenang dari sayembara itu diumumkan dari 22 arsitek yang mengumpulkan karya. Arsitek dengan nama asli Friedric Silaban memenangkan sayembara pembangunan Masjid Istiqlal.

 


Masjid Istiqlal ini didasari oleh usulan beberapa tokoh Islam kepada menteri Agama saat itu. Ibukota Indonesia baru saja pindah ke Jakarta. Sebagai ibukota negara, Jakarta belum mempunyai masjid yang besar. Menteri Agama menyambut baik usulan tersebut. Usulan itu disampaikan ke Presiden Soekarno. Soekarno juga sepakat dengan usulan tersebut, bahkan beliau ingin menjadi ketua panitia sayembara desain Masjid Istiqlal.

 

Dipilihlah lokasi di Taman Wijaya Kusuma, sebuah taman dengan bekas benteng Belanda di atasnya. Pembangunan dimulai pada tahun 1961. Dikarenakan gejolak politik di masa transisi kekuasaan, pembangunan masjid tersendat. Pembangunan Masjid Istiqlal memakan waktu hingga 17 tahun. Pada akhirnya, Masjid Istiqlal diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1978 dengan menelan biaya sebesar Rp. 7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah) dan US$. 12.000.000.

 

Rancangan Silaban ini sangat khas dengan bentuk geometri sederhana. Dia sangat sadar terhadap iklim dan cuaca. Dibuatlah sirip dan kolom untuk tepian masjid agar panas dari matahari dapat tertahan, namun angin dapat masuk ke dalam. Cahaya matahari juga bisa masuk lewat celah kolom. Selasar dibikin agak miring agar saat hujan, tampias air dapat mengalir dan lantai bisa segera kering. Seperti rancangan zaman Soekarno lainnya, gedung ini mengandung makna seperti tinggi Menara, jumlah tiang, jumlah lantai dan diameter kubah.

 

Silaban merancang Istiqlal dengan jenis bahan yang sangat sedikit. Bahan utamanya hanyalah beton, baja, dan marmer. Dengan penggunaan bahan yang kuat terhadap perubahan cuaca ini, diharapkan masjid ini dapat bertahan hingga waktu yang lama. Penggunaan bahan ini juga mempertimbangkan iklim di Jakarta. Bahan-bahan ini dapat menahan panas sehingga jamaah dapat beribadah dengan nyaman walaupun tanpa adanya pendingin.

 

Ngomong-ngomong soal kubah, Silaban menggunakan pipa-pipa baja kecil yang disusun menggunakan prinsip polyhedron. Saat itu, hanya negara maju yang bisa membuat bangunan seperti itu. Karena itu, Silaban beserta panitia berkonsultasi langsung ke Jerman. Ada tantangan sendiri dalam menggarap kubah ini. Kesuksesan Silaban dan tim ini membuat kubah tersebut dikenal sebagai Silaban Dome.

Jumat, 04 Februari 2022

Tempat Pengharapan

Februari 04, 2022 0
Tempat Pengharapan

Setiap Imlek tiba, saya selalu merencakan hunting foto. Keleteng yang terbayang selalu di Vihara Dharma Bakti di kawasan Petak Sembilan, Glodok. Sebelum pandemic, pasti kelenteng itu padat orang. Ada tiga jenis orang yang memadati kelenteng Kim Tek Ie ini. Pertama tentu saja umat yang ingin beribadah di kelenteng. Kebanyakan mengenakan pakaian berwarna merah. Warna keberuntungan di hari Imlek. Kedua adalah fotografer dan wartawan. Berciri menenteng tas kamera dan berdiri di tepian kelenteng yang sudah disiapkan panitia.  Selalu bersiap membidik momen lewat kamera. Ketiga adalah pedagang burung. Banyak pedagang yang menawarkan burung untuk dibeli dan dilepaskan oleh umat yang merayakan. Ada tradisi pelepasan burung seusai beribadah di kelenteng.

 


Mengapa Kelenteng Kim Tek Ie menjadi tempat yang terbayang pertama? Karena ini adalah kelenteng yang paling terkenal dan ini merupakan kelenteng tertua di Jakarta. Tidak heran perayaan Imlek terpusat di sini. Saya hampir tidak pernah mengunjungi kelenteng lain saat Imlek. Namun, berkat @jktgoodguide, saya mengenal sebuah kelenteng yang tersembunyi di kawasan Pasar Baru. Kelenteng Sin Tek Bio.

 

Kelenteng Sin Tek Bio ini berdiri di tahun 1698, sekitar 120 tahun lebih dulu dibandingkan berdirinya Pasar Baru. Kelenteng ini didirikan oleh kaum cina miskin yang berprofesi sebagai petani. Kaum ini tidak mampu tinggal di dalam benteng kota ataupun sekitarnya. Konseukensi dari terbentuknya komunitas penduduk adalah timbulnya kebutuhan tempat ibadah. Karena itulah Kelenteng Sin Tek Bio ini berdiri.

 

Setiap kelenteng, memiliki dewa tuan rumah, begitupun juga dengan Kelenteng Sin Tek Bio. Kelenteng ini terdiri dari dua bagian bangunan berdasarkan dewa tuan rumah. Bagian utama dihuni oleh Dewa Hok Tek Ceng Sin atau Dewa Bumi dan Rejeki. Sangat lazim bahwa kelenteng sekitar pusat perdagangan mempunyai Dewa Hok Tek Ceng Sin sebagai dewa tuan rumah. Kelenteng dijadikan tempat berdoa agar usaha yang dilakukan lancar dan banyak rejeki.

 

Bagian kedua dihuni oleh Dewi Kwan Im sebagai Dewi Welas Asih dan Penolong. Dewi Kwan Im terkenal membantu orang yang tengah kesulitan. Diharapkan umat yang memohon di sini mendapatkan kemudahan jika mendapat kesulitan.

 

Tempat dari Kelenteng Sin Tek Bio ini memang agak sulit ditemukan. Patokannya, kamu bisa berangkat dari Bakmi Gang Kelinci. Di sebelah Bakmi GK, ada gang kecil. Masuk saja dan ikuti gang yang berkelok-kelok. Kamu akan menemukan kelenteng ini di sisi kiri.

Oase Keberagaman di Batavia

Februari 04, 2022 0
Oase Keberagaman di Batavia

Kehidupan sosial suatu masyarakat, sering kali tidak lepas dengan suasana religi dan spiritual. Begitupun juga dengan kehidupan penduduk Batavia lama. Semakin banyaknya orang-orang Belanda dan Eropa yang menetap di Batavia, makin besar kebutuhan akan gereja sebagai tempat beribadah dan ekspresi religiusitas. Gereja pertama disinyalir berada di lokasi museum wayang kota tua. Bangunan aslinya sudah tidak berbentuk. Di situ juga disinyalir makam dari pendiri Batavia, Jan Pieterzoon Coen.

 


Pejabat VOC yang didominasi pemeluk Kristen Protestan menjadikan Kristen sebagai agama resmi dan mayoritas di Batavia kala itu. Bahkan pekerja Poturgis yang beragama Katolik dipersyaratkan untuk memeluk agama Kristen jika ingin tinggal di Batavia. Hal ini membuat komunitas Katolik tidak bisa berkembang, apalagi mendirikan gereja. Hal ini berlangsung cukup lama hingga angin segar berhembus saat kekuasaan Belanda jatuh ke tangan Perancis.

 

Di saat Herman Williem Daendles menjadi gubernur Hindia Belanda, dia memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia lama ke Welte Vreden. Di saat itu juga, komunitas Katolik diberi kelonggaran untuk menyelenggarkan misa. 1808 digelar misa terbuka pertama di Batavia. Dua tahun kemudian, umat Katolik di Batavia memiliki gereja Katolik pertama yang berlokasi di kawasan Senen. Mulai saat itu, umat Katolik mulai berkembang di Batavia.

 

Pada 1826, gereja ini terbarkar sehingga setahun kemudian, umat katolik mendirikan gereja baru di kawasan waterlooplein (lapangan Banteng). Gereja itu diberi nama Gereja Santa Maria Diangkat ke Surga. Setelah mengalami beberapa pemugaran, pada tahun 1890 gereja ini rubuh total. Umat Katolik mendirikan gereja baru di tanah tersebut. Karena kesulitan dana, pembangunan gereja ini memakan waktu yang cukup lama. Pembangunan gereja akhirnya selesai pada tahun 1901.

 

Pembangunan gereja Katedral digawangi oleh Pastor Antonius Dijkmans, seorang Pastor yang juga arsitek. Gereja ini dibangun dengan gaya arsitektur neo-gotik yang saat itu sangat lazim digunakan untuk membangun gedung gereja. Jika kita perhatikan Menara-menaranya, makin ke atas makin sedikit ornament dan makin runcing. Ini melambangkan jika kita menghadap ke Tuhan, kita bersiap untuk “polos”, tidak banyak kosmetik. Gereja Katedral ini berbentuk salib jika dilihat dari atas. Hingga sekarang, bangunan yang ada tidak mengalami banyak perubahan. Bentuk asli masih dipertahankan.

 

Saat ini, gereja Katedral masih aktif menggelar peribadatan untuk umat Katolik di Jakarta.