Refleksi Sewindu di Jakarta - Catatan Kecil

Minggu, 06 Februari 2022

Refleksi Sewindu di Jakarta

Saya mengingat lagi kapan saya pertama kali berkenalan dengan Jakarta. Tahun 2010 akhir tepatnya saya menginjakkan kaki pertama kali ke kota yang sebelumnya cuma bisa saya lihat melalui televisi. Tidak pernah terbayangkan seorang anak yang besar di pelosok desa di Jawa Timur bisa menginjakkan kaki di Jakarta. Kala itu saya cuma sebentar di Jakarta. Ada sebuah acara di stasiun televisi di daerah Kebon Jeruk.

 


Kesan pertama adalah panas. Saat itu saya hidup di Bandung. Walaupun hidup di Dayeuh Kolot yang juga panas dan berdebu, saya tidak membayangkan Jakarta sepanas itu. Selama menaiki transportasi umum, beberapa kali saya terjebak macet. Ruwet sepertinya. Di jam pulang kerja, saya melihat pekerja di Jakarta yang menunjukkan wajah lelah. Jakarta menjadi kota yang tidak saya idamkan untuk saya tinggal dan bekerja.

 

Melompat di tahun 2014, akhirnya saya diterima kerja di Jakarta. Pada tanggal 1 Januari 2014, saya resmi menjadi penduduk Jakarta (walau KTP masih Jatim). Saya mulai berkenalan lebih intens dengan Jakarta. Tidak semua menyenangkan, namun tidak semua mengerikan. Jakarta itu seperti sahabat yang menyebalkan. Awal kenal, pasti kamu sebal dan bikin marah. Makin kenal, saya makin tahu sis baiknya. Bahkan beberapa kali dia membantu saya saat kesulitan. Nah itulah Jakarta.

 

Stockholm Syndrome kata orang. Kamu akan simpati bahkan jatuh cinta kepada orang yang menawanmu dalam tahanan. Kamu tidak sadar apa yang terjadi. Tahu-tahu, kamu akan bersahabat dan tidak ada keinginan untuk meninggalkannya. Saya mulai mengenal orang-orang baik, tempat-tempat menyenangkan, sejarah yang mengasyikkan, atau kesempatan yang sebelumnya tidak ada.  Saya teringat dengan jelas ketika Irwan Ahmett mengucapkan kalimat ini di TEDx Jakarta, “Sulit hidup di Jakarta, tapi jauh lebih sulit untuk dapat meninggalkannya.”

 

Wualaa... Saya akhirnya di sini. Apakah Jakarta ini menjadi tempat persinggahan sebelum melanjutkan ke kota lain? Saya belum tahu. Namun selama hidup di Jakarta, saya setidaknya mencoba untuk tetap bermain di dalam segala keterbatasan yang ada. Saya mencoba untuk menjadikan Jakarta tempat yang menyenangkan untuk ditinggali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar