New Endings Jakarta - Catatan Kecil

Minggu, 06 Februari 2022

New Endings Jakarta

Setelah di tulisan sebelumnya saya melakukan refleksi selama saya tinggal di Jakarta, izinkan kali ini saya membagi awang-awang ke depan. Awang-awang yang berupa harapan dan kekhawatiran sekaligus. Saya membagi menjadi tiga bagian utama: Perpindahan Ibukota, Iklim, dan kesempatan hidup. Tulisan ini juga sebagai penutup seri #30HariBercerita tentang Jakarta.

 


Saya pernah diskusi dengan beberapa orang tentang isu perpindahan ibukota Indonesia. Kami tidak membahas alasan, kajian dan anggaran. Biarlah itu jadi urusan bapak-bapak di atas sana. Kami membahas pertanyaan besar, “Bagaimana wajah Jakarta tanpa gelar DKI?” Kami ngobrol ngalor ngidul tentang ini, namun kesimpulan kami sama. Jakarta akan tetap menjadi Jakarta. Jakarta sudah mempunyai identitas dan kepribadian lebih dari gelar DKI.

 

Dengan pindahnya ibukota, kamu akan tetap menemui tetanggamu yang jualan nasi uduk. Kamu masih bisa menyapa abang penjaga warkop favoritmu. Jakarta juga masih punya Monas. Pasar Minggu tetap tidak libur walau hari minggu. Kami menduga, seluruh kehidupan dan interasi sosial tidak mengalami pergeseran yang berarti. Hanya para abdi negara yang akan terdampak karena harus pindah. Dari itu semua, kami berharap dengan pindahnya para pejabat ke ibukota baru, voorijder yang menyebalkan itu akan lenyap dari jalanan Jakarta.

 

Bagian kedua adalah tentang iklim. Tidak banyak orang Jakarta yang menyadari bahwa kehidupan kota ini terancam dengan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Untuk melihat orang-orang yang paling terdampak terhadap kerusakan lingkungan, kamu bisa berjalan-jalan ke Jakarta bagian utara. Penurunan ketinggian tanah begitu masif dan dirasakan langsung. Mereka terpaksa bersahabat dengan banjir rob.

 

Belum lagi tentang krisis air bersih. Cakupan layanan PAM Jakarta baru menyentuh 65% dari total penduduk (suara.com, 2020). Masih banyak yang kesulitan mengakses air bersih padahal akses terhadap air bersih merupakan hak setiap warga negara. Akhirnya mereka terpaksa menggunakan air tanah. Penggunaan air tanah ini akan mempercepat penurunan ketinggian tanah di Jakarta.

 

Kualitas udara, pengelolaan sampah, banjir, pendangkalan sungai dan sebagainya masih menjadi catatan panjang pekerjaan rumah di bidang lingkungan. Diharapkan pemegang kebijakan mempunyai roadmap perbaikan dan regulasi akan hal ini. Mengurangi penggunaan sedotan plastik memang baik, namun regulasi plastik industri akan berdampak lebih besar.

 

Hal ketiga adalah kesempatan hidup. Saya bukan ahli ekonomi, namun ini yang saya lihat dan rasakan. Akses ekonomi dan akses ruang hidup masih jadi sorotan utama. Berdasarkan kajian tim Anies-Sandi saat pilkada, kemampuan daya beli kebutuhan pokok menjadi isu utama bagi penduduk Jakarta. Mungkin tidak pernah terdengar di sosial media, namun itu kenyataan yang dihadapi.

 

Untuk kelas menengah, kesulitan untuk ruang hidup (tempat tinggal) jadi perbincangan. Melipir ke luar Jakarta menjadi pilihan yang sering diambil walaupun istilah tua di jalan harus dihadapi.

 

Apakah kamu masih optimis tentang Jakarta? Masih ada lilin harapan walau kadang redup. Hidup di Jakarta memang penuh dengan semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar