Dahlan Iskan dan Korannya - Catatan Kecil

Minggu, 13 Februari 2022

Dahlan Iskan dan Korannya

Minggu lalu, saya senang ketika teaser Beginu minggu lalu keluar. Saya menyaksikan di akun Instagram milik Wisnu Nugroho. Bintang tamu kali ini adalah tokoh senior di industri media cetak, Dahlan Iskan. Dari teasernya tergambar bahwa Pak Dahlan akan bercerita tentang Jawa Pos. Oh, mungkin karena menyambut Hari Pers, pikir saya. Setelah video penuhnya terbit, benar saja Pak Dahlan bercerita tentang Jawa Pos dan pers.

 


Saya begitu senang karena Pak Dahlan dan Jawa Pos adalah dua hal yang sangat berpengaruh di hidup saya. Khususnya di bagian kehidupan literasi. Kegemaran saya membaca dibentuk salah satunya oleh Jawa Pos. Untuk hal-hal menulis blog dan opini, saya mencontek banyak dari tulisan Pak Dahlan. Dalam tulisan ini, saya akan bercerita lebih dalam tentang Pak Dahlan dan koran yang dibesarkan beliau itu.

 

Untuk diketahui konteksnya, sepengamatan saya saat kecil, ada dua koran yang paling sering dibaca di Jawa Timur, Jawa Pos dan Surya. Jawa Pos menempati koran dengan harga yang mahal, setara dengan Kompas. Untuk Surya, dia mengisi pasar yang lebih murah. Itu sepengamatan saya saat kecil, saya tidak menemukan data pastinya.

 

Ayah saya adalah orang yang juga suka membaca, walau sepenglihatan saya tidak terlalu gemar membaca banget. Hal yang pasti dia baca tiap hari adalah koran. Setiap pagi di sela jam kerja, dia membaca koran. Dia berlangganan koran dan koran itu adalah Jawa Pos. Setiap pagi sejak saya TK, saya melihat wujud Jawa Pos di rumah saya.

 

Saya lupa persisnya kapan saya mulai membaca koran. Jika saya tebak, mungkin kelas 5 SD akhirnya saya ikutan membaca koran. Semenjak saat itu, saya rutin membaca Jawa Pos. Saat SMP saya selalu rebutan membaca Jawa Pos dengan Pak Satpam di perpustakaan sekolah sebelum masuk kelas. Saat SMA, saya membaca Jawa Pos di rumah setelah pulang sekolah. Hal itu berlanjut sampai saya lulus SMA.

 

Saat kuliah di Bandung, saya tidak membaca Jawa Pos. Jawa Pos tidak dijual di pedang koran dekat kampus. Saya tidak tahu apakah Jawa Pos memang tidak dijual di Bandung ataukah memang  mamang penjual koran tidak mengambil Jawa Pos. Akhirnya saya berpindah ke Kompas di awal bulan dan Koran Tempo di akhir bulan.

 

Balik lagi ke Jawa Pos, saat itu Jawa Pos dibagi menjadi tiga bagian. Bagian utama, Radar Kediri, dan Olahraga. Mungkin pada bagian utama, saya membaca sebagian besar artikel, baik dari politik, ekonomi dan internasional. Mungkin yang saya agak sering lewati adalah di bagian ekonomi bisnis karena banyak istilah yang saya belum paham saat itu. Untuk bagian Radar Kediri, saya membaca selintas saja karena saya tidak terlalu terarik dengan berita lokal. Saya tidak pernah menyentuh bagian olahraga, karena memang saya tidak tertarik dengan olahraga.

 

Dari membaca Jawa Pos mulai SD hingga SMA itulah daya tahan saya dalam membaca terlatih. Saya bisa duduk cukup lama untuk membaca Jawa Pos. Hal itu berdampak ke kegemaran saya membaca buku saat dewasa. Itulah mengapa saya menyebut jawa Pos adalah hal yang sangat berpengaruh di hidup saya. Apakah saya masih membaca koran? Saya menuliskannya di kiriman ini.

 

Saya kadang membaca rubrik Catatan Dahlan Iskan, kolom yang diampu oleh sang CEO sendiri. Rubrik ini ada seminggu sekali. Saya mulai rutin membaca Catatan Dahlan Iskan ketika beliau menceritakan pengalamannya dalam menjalani transplantasi hati. Saat itu, beliau menderita sirosis sehingga hati miliknya harus diangkat dan diganti oleh hati milik pendonor. Pengalaman beliau menjalani pengobatan di Tiongkok inilah yang beliau tuliskan di Catatan Dahlan Iskan. Diberi judul khusus, yaitu Ganti Hati. Pada akhirnya, kumpulan catatan ini diterbitkan dalam buku berjudul Ganti Hati.

 

Saya begitu menyukai tulisan beliau. Strukturnya enak, ringkas namun tetap menampilkan hal-hal detail dan kecil. Saya merasa tidak membaca opini yang njlimet padahal kadang topiknya berat. Saya seperti didongengin seseorang dalam penuturannya. Kekuatan tulisan beliau ada pada kemampuan story telling yang sangat kuat dan mengalir.

 

Hal yang paling saya sukai dari tulisan beliau adalah opininya berani dan otentik. Beliau tidak takut mengemukakan pendapat walau pendapatnya tidak jamak di khalayak. Dengan argument yang runtut, beliau dapat menjelaskan alasan di balik pernyataan sikap. Kedua adalah, beliau sering mengambil sudut pandang yang tidak umum. Seringkali sudut pandang yang tidak terpikirkan oleh saya.

 

Dari tulisan-tulisan beliau saya belajar tentang struktur penulisan dan gaya bahasa di awal saya nulis blog. Bahkan saya contek struktur tulisannya. Saya ingin menjadi Dahlan Iskan singkat kata. Tentu saja tidak pernah sebaik beliau, tapi setidaknya saya berlatih menulis dengan struktur yang tidak awut-awutan.

 

Beliau saat ini masih menulis setiap hari di Disway, sebuah media yang beliau dirikan. Gaya tulisannya berubah menyesuaikan karakter pembaca saat ini. Walapun saya lebih menyukai tulisan beliau yang dulu, beliau tidak kehilangan nakalnya dalam beropini.


Photo by Ashni on Unsplash

Tidak ada komentar:

Posting Komentar