Pulanglah! - Catatan Kecil

Rabu, 14 Agustus 2013

Pulanglah!

Ku berdiri di stasiun itu, stasiun Kiara Condong Kota Bandung. Suasananya masih sama, masih sama dengan 3 tahun yang lalu ketika aku pertama kali menginjak pertama bumi parahyangan ini. Kali ini aku akan pulang ke kota asalku, Blitar. Aku akan pulang. Tidak ada yang istimewa dengan kepulanganku ini. Pulang rutin setiap liburan. Di tahun akhir kuliahku, pulang menjadi hal yang tidak terlalu menarik lagi. Entah Bandung terlalu indah, atau ini adalah perasaan yang biasa dialami mahasiswa tingkat atas. Yang jelas, pulang menjadi tak semenarik dulu ketika aku jadi mahasiswa baru.

Keretaku datang. Malabar. Sebuah kereta yang jadi sahabatku 2 tahun terakhir. Kupersiapkan tiket yang sudah kupesan. 350 ribu. Sial, mahal sekali. Mungkin kalau bukan karena omelan ibuku yang menyuruhku pulang, rasanya tak sudi aku membeli tiket kereta semahal itu. Lebih baik rasanya aku beli tiket kereta di hari lain yang mungkin lebih murah. Ibuku yang tak mau dinego. Aku harus pulang hari itu juga.Tiket dengan tempat duduk nomer 16C. Kereta pun mulai menyusuri rel ke timur. Aku pulang juga akhirnya.

Di kursi 16D sudah duduk seorang ibu. Kutaksir umurnya kurang dari umur ibuku. Mungkin sekitar 40 tahun. Sepertinya dia naik dari stasiun Hall Kota Bandung. Aku duduk disampingnya, kusunggingkan senyuman terbaikku,

“Permisi Bu”
“Silahkan Mas, 16C ya mas”
“Iya Bu”
“Oooo,..silahkan”
Kumulai percakapan standar ketika seseorang naik kereta. “Turun mana Bu?”
“Turun Blitar Dik, Adik turun mana?”
“Sama Bu, saya juga turun Blitar”
“Di Bandung kuliah?”
“Iya Bu, Di Telkom. Ini lagi liburan mau pulang.”

Dan obrolanku pun berlanjut. Dari obrolan itu kuketahui dia alumni SMA yang sama dengan SMAku. Tertebaklah jika ada dua alumni beda generasi bertemu, obrolan berlanjut tentang SMA. Cerita semasa berseragam putih abu-abu kembali mengemuka. Obrolan itu menjadi menyenangkan.

Kereta terus membawa kami timur. Stasiun demi stasiun terlewati. Pedagang asongan, pegawai Reska, security, dan teknisi hilir mudik menemani perjalanan ini. Beginilah suasana kereta, angkutan murah nan bebas macet.

 “Kapan libur dik? Liburnya lama?
“Liburnya sudah seminggu lebih yang lalu bu, liburnya sekitar sebulan.”
“Loh kok baru pulang sekarang?”
“Iya Bu, males pulang. Ini kalau ga diomelin Ibu, paling pulangnya seminggu lagi. Ibu sendiri di Bandung ada urusan apa?”

“Ngeterne anak. Aku nduwe anak loro. Sing gede lanang, saiki kelas 5 SD, sing cilik wedok, saiki kelas 3 SD. Saiki aku dianggep wae ra nduwe bojo. Bojoku lunga ga ngerti nang ngendi. Ga jelas. Yo wis, aku nggedekne anak dhewe. Tapi, setahun iki aku kudu nggrawat Bapakku sing wis tua. Bapakku saiki lara-laranen. Ya aku kudu sing nggrawat, lha kangmas mbakku ora enek sing urip ning Blitar. Akhire waktu lan biayane kesedot ning Bapakku. “

(“Nganterin anak. Aku punya dua anak. Yang besar laki-laki, sekarang kelas 5 SD, yang kecil perempuan, sekarang kelas 3 SD. Sekarang anggap saja aku ga punya suami. Suamiku pergi ga tahu ke mana. Ga jelas. Ya sudah, Aku besarin anak sendiri. Tapi setahun terakhir, Aku harus merawat Bapakku yang sudah tua. Bapak sekarang sakit-sakitan. Ya aku yang harus merawat, karena saudara sudah ga ada yang tinggal di Blitar. Akhirnya waktu dan biaya tersedot untuk Bapakku”)

Dia berhenti sejenak. Aku pun terdiam saja. Dia melanjutkan ceritanya dengan suara berat dan dalam. “Aku dadi mikir piye dadine anakku. Aku kangelan biayane, lha saiki sekolah pada larang. Masku sing tinggal ning Cimahi nawari nggrumat anakku. Masku janji nanggung sekolah lan uripe anakku. Asline aku ya ora tega ninggal anak, tapi ya piye wis kahanane ngono”

(Aku jadi berpikir bagaimana jadinya anakku. Aku kesulitan biayanya, sekarang sekolah mahal. Kakakku yang tinggal di Cimahi menawari merawat anakku. Kakakku janji menanngung sekolah dan kehidupan anakku. Sebenarnya aku tidak tega meninggalkan anak, tetapi bagaimana lagi sudah keadaannya begini.)

Terdiam aku mendengar ceritanya. Mataku tak beralih dari ibu itu. Beban berat kehidupannya seketika merasuk ke dalam diriku seakan aku berdiri di setiap episode kehidupannya. Dia tetap memaksakan diri untuk tersenyum, entah untuk menghibur dirinya sendiri atau dia tak mau aku ikut dalam kesedihannya.

Berpisah dengan anak-anaknya yang masih kecil pasti sangat berat baginya. Dia bercerita bahwa yang mengantarkan dia di stasiun hanya anaknya yang lelaki. Dia tidak berani mengajak putrinya. Dia tahu itu akan menjadi hal yang berat bagi putrinya, berpisah dengan ibundanya. Namun ku rasa, itu akan terasa lebih berat bagi dia. Meninggalkan putri yang sewajarnya ada di pelukannya.

Sesaat kemudian teleponnya berdering. Sebuah panggilan dari putrinya. Dipaksakan dirinya untuk berkata “Halo” dengan riang agar putrinya tak terlalu sedih. Tapi menutupi perasaan tak semudah yang dikira. Pecahlah tangisannya. Tersengguk dia menjawab pertanyaan putrinya yang juga dalam tangisan. Berat kawan jika engkau menyaksikan langsung. Ditutupnya telepon itu dengan salam yang coba dimaniskan. Setelah itu terisak lagi.

Setelah menyeka air matanya dan menenangkan diri, dia kembali berkata kepadaku,

“Dik, kalau ada waktu pulang, coba segera pulanlah. Anak laki-laki memang biasanya senang merantau, tetapi yang harus diingat, ada ibu yang menunggu di rumah. Kalau anak-anaknya ga ada yang di rumah, ibu itu merasa sepi. Mumpung masih kuliah, ada waktu libur, pulanglah. Kalau adik sudah kerja, di Jakarta atau di Bandung, susah untuk pulang. Kasihan ibu di rumah. Ibunya pasti seneng lo Dik kumpul sama anak-anaknya”

Kali ini aku yang tertegun. Aku serasa berhadapan dengan aku yang lain. Kami bertatapan dan berkontemplasi bersama. Apakah aku langsung pulang jika aku liburan? Seberapa sering aku memikirkan penantian ibuku untuk aku pulang? Dan, seberapa pentingkah arti pulang bagiku?

Aku tidak langsung memberi respon atas kata-kata ibu itu yang rasanya sebuah hantaman 500 kilogram membentur dadaku. Aku tidak tahu respon yang terbaik apa. Aku tidak tahu, karena aku belum berhasil dan selsai atas kontemplasiku. Senyum dan anggukan merupakan respon terbaikku saat itu.

Kereta ini trus membawaku ke timur. Malam sudah semakin larut. Hening. Hanya terdengar suara kaki-kaki besi kereta ini yang menapak di lintasan rel. Hampir semua penumpang sudah terlelap, tetapi aku masih dalam kebingunganku. Ah, sudahlah. Mungkin esok pagi akan kutemukan jawabannya. Ketika aku menjejakkan kakiku di kotaku. Ketika aku bertemu dengan ibuku.



Salam cinta untuk Indonesia


@Hardian_cahya

2 komentar:

  1. Terkadang, memang ada rasa malas untuk pulang ketika di perantauan. Tetapi, ada satu hal yang membuat kita pada akhirnya luluh untuk pulang, yaitu KELUARGA.

    Catatannya bagus. Saya suka. :)

    BalasHapus