Kim Ji Young Born 1982: Kisah Pilu di Lingkungan Misoginis - Catatan Kecil

Jumat, 11 September 2020

Kim Ji Young Born 1982: Kisah Pilu di Lingkungan Misoginis

Korea Selatan, dengan segala gemerlap budaya K-Pop dan K-Drama, menyimpan berbagai kisah pilu yang menyertainya. Di lingkungan yang mengutamakan laki-laki, kisah pilu ini dialami oleh seorang perempuan kelahiran 1982 bernama Kim Jiyoung. Walaupun ini merupakan kisah fiksi tulisan Cho Nam Joo, tetapi banyak review yang mengatakan ini adalah salah satu buku protes terbaik dari kalangan perempuan akan budaya dominasi yang terjadi di Korea Selatan.

 

Kim Jiyoung, seorang anak kedua dari 3 bersaudara. Ayahnya adalah pegawai negeri, dan ibunya adalah ibu rumah tangga. Kakanya seorang perempuan dan adiknya adalah laki-laki. Keluarganya dari kalangan menengah bawah sehingga rumahnya bisa dikatakan kecil. 2 kamar dan 1 ruang bersama. Sedangkan mereka juga tinggal bersama nenek Jiyoung, sehingga Jiyoung harus berbagi dengan 5 penghuni lainnya.


Ketidakadlian terhadap gender dialami Jiyoung sejak masa anak-anak. Neneknya sangat menyangi adiknya hanya karena adiknya laki-laki. Pengutamaan itu mulai dari hal-hal yang remeh, seperti urutan siapa yang boleh makan duluan, siapa yang diutamakan mendapatkan kamar sendiri ketika mereka pindah ke rumah yang lebih besar, dan siapa yang bisa mengakses Pendidikan yang lebih baik.


Tidak hanya dirumah, ketidakadilan ini dalami juga di sekolah. Ketika ada yang bertengkar, yang disalahkan pertama adalah perempuan.  Gurunya bahkan belum menanyakan apa yang terjadi. Pun walau yang laki-laki mengaku salah, gurunya tetap membela anak laki.


Singkat cerita, ketidakadlian ini dialami Jiyoung dari anak-anak sampai dewasa. Dalam kehidupan pribadi dan kehidupan professional. Perempuan tentu saja banyak dirugikan dalam kalangan professional karena perusahan lebih mengutamakan laki-laki dalam promosi karir. Dalam kehidupan pribadi pun, sang laki-laki yang memegang kendali. Walaupun Jung Daehyun, suaminya, sangat sayang kepdanya, namun beberapa keputusan rumah tangga akhirnya mengorbankan pihak perempuan.


Dengan sifatnya yang tidak terlalu konfrontatif, akhirnya Jiyoung mengalami gangguan mental. Suaminya yang menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan kesehatan mental istrinya. Akhirnya Daehyun membawa Jiyoung untuk berobat ke psikiater.

 

Hal yang saya suka dari novel ini adalah suasana yang dibangun dari awal sangat konsisten. Kedua adalah karakter dalam novel ini cukup kuat, dan ketiga adalah kesederhanaan plot. Tiga keunggulan itu dirangkum ke dalam novel yang tidak terlalu tebal sehingga bisa dihabiskan di akhir pekan.


Suasana yang dibangun dalam novel ini sangat gelap. Suasanya itu dibangun dari perbuatan tokoh-tokoh sekitar Jiyoung atau respon mereka terhadap suatu masalah. Suana gelap ini dipelihara sampai akhir cerita. Anda akan ikut merasakan suasana batin Jiyoung dalam menghadapi lingkungannya.


Karakter yang kuat juga mendukung suasana itu. Penulis menyertakan kisah latar ibunya untuk memperkuat alasan mengapa ibunya yang cukup dekat dengan Jiyoung tidak cukup melindungi Jiyoung dari ketidakadilan gender.

 

Dan ketiga adalah kesederhadaan plot.Tidak ada plot yang rumit dalam novel ini. Alurnya juga sederhana sehingga pembaca tidak perlu mengerutkan dahi. Penulis lebih mengutamakan suasana hati Jiyoung ketimbang plot yang rumit.

 

Hal yang saya tidak suka dari novel ini adalah novelnya terlalu deskriptif. Dialog antar tokoh sangatlah minim. Sebagian besar diutarakan dalam rangkaian deskripsi. Si A merasa ini, Si B berpikir itu. Menurut saya, diskripsi yang panjang itu akan menimbulkan kebosanan. Estetika penulisan sangat dikorbankan untuk mengejar kesederhanaan.

 

Novel ini juga sudah diangkat ke layer lebar walau ceritanya tidak sama. Ada pengembangan di sana sini. Semangat yang dibawa tetaplah sama. Uniknya, filmnya tidak mendapatkan nilai yang tinggi oleh publik Korea Selatan. Setelah dibedah lagi, nilai rendah disumbangkan laki-laki yang merasa bahwa cerita ini telah menjelekkan budaya korea. Sebaliknya, kaum perepmuan di korea selatan memberi nilai yang tinggi untuk film ini.

 

Kim Jiyoung tidak sekadar protes atas patriarki, namun juga menekankan akan kesehatan mental. Cukup menarik untuk Anda baca.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar