Anak Semua Bangsa: Kesadaran Kebangsaan Seorang Minke - Catatan Kecil

Minggu, 25 April 2021

Anak Semua Bangsa: Kesadaran Kebangsaan Seorang Minke

Setelah saya membaca kembali buku pertama dari tetralogi Pulau Buru, yaitu Bumi Manusia, akhir pekan ini saya menyelesaikan buku kedua yaitu Anak Semua Bangsa. Dalam buku kedua ini, Pramoedya Ananta Toer melanjutkan petualangan intelektual seorang Minke


Sebelum saya membahas tentang buku Anak Semua Bangsa, izinkan saya memberi kilasan latar cerita dari tetralogi Pulau Buru ini. Ini adalah kisah seorang remaja bernama Minke. Dia adalah pribumi seorang anak bupati. Sebagaimana anak pejabat lainnya, Minke mendapat kesempatan bersekolah di HBS Surabaya. Latar waktu dalam kisah ini sekitar 1890, tahun saat Ratu Wilhelmina diangkat menjadi Ratu Belanda.

 


Saat itu, masyarakat terbagi menjadi tiga kelas utama. Lapisan paling bawah adalah pribumi. Di atas itu adalah lapisan indo (anak belanda-pribumi, china, dan arab. Lapisan paling atas adalah totok belanda. Semakin ke atas, kedudukan sosialnya semakin tinggi. Kedudukan di mata hukum juga dipengaruhi oleh lapisan kelas manusia ini.

 

Pada buku pertama, Bumi Manusia, menceritakan awal kesadaran seorang Minke terhadap ketidakadilan terhadap pengelompokan kelas ini. Diawali dengan keinginan Minke untuk kebarat-baratan, dia justru disadarkan oleh Nyai Ontosoroh atas kesamaan harkat martabat manusia. Seharusnya semua manusia mempunyai derajat yang sama. Bumi ini tidak diciptakan untuk ras tertentu, karena ini bumi untuk semua manusia.

 

Setelah kesadaran atas persamaan harkat martabat manusia, dalam buku kedua ini, Pram menceritakan tentang awal kesadaran Minke akan nasionalisme. Kesadaran nasionalisme ini datang dari pengamalam untuk mengenal bangsa sendiri dan dialog dengan orang yang mengetahui kisah bangsa lain. Mengenal bangsa sendiri ini dimulai dari pertemuan Minke dengan Trunodongso, seorang petani yang ditindas oleh pabrik gula milik belanda. Minke melihat langsung penderitaan petani atas tindasan korporasi besar.

 

Berlanjut ke pertemuannya dengan Khouw Ah Soe, seorang pelarian Tiongkok yang akhirnya menjejak di Surabaya. Dialog dengan Khouw Ah Soe ini membuat Minke mendapat pengetahuan baru tentang kisah di Tiongkok dan di negara lain yang memperjuangkan kepentingan pribumi atas penjajah. Ditambah lagi dialog Minke dengan Tuan Ter Haar di atas kapal dalam perjalanannya ke Betawi. Minke mendapat sudut pandang lain tentang penentuan nasib suatu kaum oleh kaum itu sendiri, bukan oleh penjajah yang datang.

 

Akumulasi dari pengetahuan dan pengalaman itu memicu Minke untuk mulai membayangkan, apa jadinya Hindia tanpa Belanda. Bayangan tentang pribumi bisa memegang kendali atas bangsa sendiri. Bayangan apa yang sekarang disebut dengan nasionalisme.

 

Seperti buku pertama, saya bisa membagi buku Pram ini menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah kisah yang menjelaskan tentang kondisi psikologi yang dialami oleh Minke. Bagian kedua adalah mulainya kesadaran dan pemikiran baru akan sesuatu. Bagian ketiga adalah bagian konflik dan perlawanan atas kesadaran itu.

 

Pembagian atas tiga bagian ini membuat pembaca dapat memahami betul apa yang dirasakan Minke. Dengan demikian, pembaca mau untuk ikut dan larut dalam petualangan yang dialami oleh Minke. Saya bisa merasakan kemarahan, kegeraman, atau kegamangan yang dialami oleh Minke dalam berkonflik.

 

Risiko untuk pembentukan karakter ini adalah, ceritanya terasa menumpuk di akhir. Konflik di akhir buku terasa sangat padat dan terburu-buru untuk diselesaikan.

 

Pram kembali mampu menarik pembacanya ikut petualangan dan pertumbuhan intelektual dari Minke. Anak Semua Bangsa mampu memberikan kegelisahan sekaligus pemahaman tumbuhnya nasionalisme di kalangan terpelajar kala itu. Saya tidak sabra ikut lagi berpetualang Bersama Minke di Jejak Langkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar