Orang-orang Oetimu: Sebuah pembacaan karakter dan sindiran sana-sini - Catatan Kecil

Rabu, 19 Agustus 2020

Orang-orang Oetimu: Sebuah pembacaan karakter dan sindiran sana-sini

Saya tertarik membaca buku ini setelah saya mendengar resensi buku ini melalui siniar Homecoming with Leila Chudori. Saya belum pernah mendengar nama Felix K. Nesi sebelumnya. Akhirnya saya langsung meluncur ke laman penerbit Marjin Kiri. Singkat cerita buku ini mendarat di meja saya. Saya mulai “terbang” ke Oetimu, sebuah daerah pelosok NTT.

Orang-orang Oetimu adalah novel yang dilatarbelakangi oleh peristiwa di Timor di awal tahun 90an yang penuh dengan konflik dan tragedi. Orang-orang yang terlibat dalam sebuah konflik selalu mempunyai cerita sendiri. Terlalu naif untuk menilai hitam putih dalam sebuah konflik. Cerita setiap orang itulah yang coba ditangkap oleh Felix.


Novel ini dimulai dari sebuah peristiwa penyerangan ke sebuah rumah di malam final piala dunia 1998. Seorang polisi berpangkat sersan bernama Ipi, menjemput seseorang warga untuk menonton speak bola di pos polisinya karena desa itu hanya mempunyai 3 televisi. Kemudian Felix menarik pembacanya ke tiga generasi ke belakang dan mulai mengenalkan karakter lain. Jadi, tokoh utama dari novel ini siapa? Tidak ada. Ya, tidak ada.

Persis dengan judul bukunya, buku ini adalah kumpulann cerita orang-orang Oetimu dan kisah latar yang menyertainya. Felix menceritakan seorang tokoh di setiap bab, dan pada akhir bab, dia mengenalkan tokoh lain. Felix selanjutnya menceritakan latar belakang tokoh lain itu di bab berikutnya. Begitu seterusnya. Kita akan mengerti peran setiap tokoh di akhir novel yang kembali ke malam piala dunia itu. Jadi alur yang dipakai seperti lingkaran.

Kita akan mengenal nama Sersan Ipi, Laura, Am Siki, Romo Yosef, Silvy dan sebagainya. Dan setiap tokoh mempunya kisahnya sendiri-sendiri namun saling tersambung. Saya kesulitan menceritakan buku ini sinopsisnya seperti apa, karena novel ini memang tidak setia pada satu tokoh.

Hal pertama yang saya suka dari novel ini adalah kejeniusan Felix dalam merangkai simpul-simpul karakter dan ceritanya yang akhirnya membentuk alur utuh berbentuk lingkaran. Tidak mudah menulis dengan teknik ini karena kita harus meyakinkan pembaca bahwa tokoh yang dikenalkan tidak sekadar tempelan.

Hal kedua adalah sindiran Felix ke beberapa pihak melalui ceritanya. Tentara, gereja, dan orang pulau jawa tidak luput dari sindiran Felix. Saya merasa ini bukan sekadar sindiran, tapi sudah menjurus ke sinikal. Dia menyindir pihak-pihak itu melalui tokoh dan respon tokoh terhadap peristiwa yang menimpanya.

Ketiga adalah latar belakang sosial dia deskripsikan dengan sanagat jelas. Komponen muatan local seperti minuman, nama benda, dan tempat tidak hanya tempelan, namun ikut mendukung pembentukan karakter.

Selanjutnya adalah kemampuan Felix untuk membangun nuansa tragedi walaupun dengan uraian deskriptif. Saya bisa merasakan bagaimana perasaan Laura yang terkatung-katung sehabis digilir tantara. Saya bisa merasakan kesedihan Maria setelah ditinggal mati suami dan anaknya, dan bisa merasakah bagaimana kecemburuan dan rasa frustasinya Romo Yosef.

Untuk kekurangannya, saya sangat setuju dengan Leila Chudori bahwa Felix menggambarkan adegan seks dengan sudut pandang yang sangat maskulin. Felix perlu meriset lagi apa yang sesungguhnya dirasakan perempuan saat berhubungan badan. Di novel ini memuat cukup banyak adengan seks, sehingga memang sebaiknya dibaca oleh orang dengan umur 18 tahun ke atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar