Rasa yang Pernah Ada - Catatan Kecil

Rabu, 20 Januari 2021

Rasa yang Pernah Ada

Saat kita kuliah dulu, dengan uang saku yang cekak, pasti kita punya warung favorite dengan kriteria, enak, bersih dan murah. Kamu bisa makan di situ tiap hari atau seenggaknya pas kiriman baru datang, kamu bisa ngehedon di situ. Rasanya udah kayak makan mewah lah. Seakan-akan tempat makan itu udah paling keren sejagad raya.

 


Setelah kita bekerja dan punya rejeki yang lebih baik, coba sekali-kali makan di tempat itu. Kemungkinan besarnya adalah, rasanya ga seenak dulu. Rasanya menjadi biasa saja, atau bahkan kita ga bisa memakannya. Padahal penjualnya masih sama, jualan di tempat yang sama, dan resepnya pun sama. Mengapa rasa di lidah kita jadi berbeda? Atau di saat kuliah, makan yang agak jorok aja perut kita masih bertahan. Perut kita yang proletary ini masih mentoleransi kuman-kuman yang menjadi penyedap rasa makanan itu. Sekarang? Habis makan siap-siap obat mencret lah.

 

Saya punya teman yang pernah khawatir dengan fenomena ini. “Jangan-jangan, gue sudah ga serendah hati yang dulu? Apakah pribadi gue berubah terlalu sombong untuk makan di sini?” dan kekhawatiran sejenis yang intinya takut bahwa kita sudah terlalu borjuis untuk makan di situ.

 

Kalau saya pikir, itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan kok. Sudah barang tentu dengan rejeki yang lebih baik, lidah kita akan merasakan masakan-masakan yang memang lebih enak dibanding saat kita sedang papa. Apalagi kalau kita sudah sering travelling ke luar negeri, lidah kita akan dipertemukan dengan masakan yang lebih luas lagi. Pada akhirnya selera kita akan berkembang dengan sendirinya. Dengan pengalaman rasa yang lebih luas, maka sangat wajar penilaian kita pada suatu masakan akan berubah seiirng berjalannya waktu.

 

Sedikit nostalgia, ada tiga warung yang menjadi favorit saat masih belajar di kampus Dayeuh Kolot tercinta.

 

Warung Bali Fatimah, terletak di pinggir kalu PGA. Warung ini menjual masakan dengan bumbu bali seperti ayam suwir, ayam betutu, plecing kangkong dan lain-lain. Kesukaan saya adalah tempenya. Garing dan gurih. Walaupun terletak di samping kali yang kotor dan hitam sampai layak dijadikan tempat hukuman koruptor, warung ini sangat ramai terutama pada jam makan siang.

 

Ayam Goreng Baghdad, terletak di Sukabirus. Dengan tepung yang berbeda dengan yang lain, ayam ini sangatlah menarik. Dengan harga 6,000 pada saat itu, kamu sudah mendapatkan nasi dan 1 potong ayam. Rasanya boleh diadu lah dengan ayam goreng sekitar kampus.

 

Warung Mas Gondrong, terletak di tikungan sukabirus. Sebenarnya menunya tidak terlalu istimewa. Paling sering saya memesan telur dadar. Kalau pas punya uang pesan tongseng ayam. Tapi entah mengapa, sangat senang makan di sini. Enak dan murah. Untuk kebersihan, karena terletak di pinggir jalan berdebu, ya gitu deh

 

Eh, ini periodenya 2009 sampai 2013 yak. Pasti banyak info yang sudah tidak relevan.

 

Saya membayangkan kalau saya makan di warung itu walau penjual, resep, tempatnya sama, pasti rasanya akan tetap berbeda. Saya hanya membayangkan rasa yang pernah ada.

 

***

 

Ini tulisan ke 18 dengan tema makanan. Sudah sangat goyang kapten komitmennya. Sudah sering ngutang tulisan. Tetap semangat untuk 30 Hari Bercerita. Pokoknya 30 tulisan akan ada di tanggal 30 Januari 2021

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar