Sedih setelah Kematian - Catatan Kecil

Minggu, 21 Februari 2021

Sedih setelah Kematian

Saat itu tengah malam seingat saya. Saya masih terjaga di kamar kost saya. Entah apa yang saya lakukan saat itu, tapi kemungkinan besar sih nonton film. Telepon berdering, ada panggilan dari kakak saya. Dua kalimat singkat. “Bapak sedo, coba telponen Ibuk!”. Dengan cepat saya menelepon ibu saya. Diangkat, namun hanya suara tangis yang terdengar. Akhirnya teleponnya diambil oleh Pak Mus, tetangga saya. Dia menceritakan dengan lengkap kejadiannya.



Singkat cerita saya menjejakkan kaki di rumah siang hari. Dengan cepat, jenazah diberangkatkan ke kota ponorogo, tempat makam ayah saya berdasarkan diskusi keluarga. Alhamdulillah pemakaman berjalan dengan cepat. Tidak ada kendala satupun. Malam itu juga kita kembali ke rumah di Blitar.


Apakah saya menangis saat itu? Tidak sama sekali. Bahkan saat perjalanan ke rumah pun saya masih sempat mengitung waris. Bukan karena ingin warisan, tapi karena itu syariatnya berdasarkan kajian di kantor. Dari rumah ke pemakaman pun saya masih bisa menyetir dengan baik meskipun waktu tempuhnya sekitar 2 jam dengan kecepatan tinggi.


Saya takut ketika saya tidak sedih ketika ada kematian keluarga sendiri. Apakah hati saya sekeras itu? Ternayat tidak. Kesedihan akan kematian saya rasakan perlahan saat momen tertentu. Sesal dan rindu adalah dua rasa yang mendominasi setelah kematian.


Ahhh… sesak rasanya ketika menulis ini. Mulai dari situlah saya membenci menjadi orang dewasa, karena seiring kita mendewasa, orang di sekitar kita juga menua. Walau kematian itu nomor cabut bukan nomor urut, tapi menyaksikan orang sekitar menua itu menyedihkan.

 

***


Tema ke 22 adalah kematian. Semoga menjadi pengingat kita semua.

Photo by Glen Hodson on Unsplash

Tidak ada komentar:

Posting Komentar