Rasanya aku tidak pernah membenci Jakarta sedalam ini, tidak pernah. Aku bukan membenci Jakarta saat peluh mengucur diatas motor yang terjebak macet. Bukan pula saat pundak letih sepulang kantor. Bukan pula saat kamu kesulitan mendengar debur ombak padahal kamu sadari kamu tinggal di kota pesisir. Aku membenci Jakarta saat aku terkurung pada rumah.
Kamu mungkin
memberiku saran (dan penghakiman), bahwa seharusnya aku bersyukur atas rezekiku
bisa menempati rumah dengan tenang dan tidak mengkhawatirkan besok aku harus
tinggal di mana. Aku tentu bersyukur akan hal itu, namun bukan itu pokok
masalahnya. Diam di rumah, bahkan diam di Jakarta membuatku sulit merasa.
Dari dulu aku menganggap bahwa Jakarta ini memang mematikan rasa penduduknya. Kecepatan laju hidup kota ini akan memaksa kita melewatkan hal-hal kecil di sekitar kita. Kamu tidak akan memperhatikan dengan detail siapa yang kamu temui dan apa yang mereka kerjakan saat kamu berkendara dari rumahmu ke kantor. Kamu akan melewatkan emosi tiap penduduk yang kamu lalui saat itu. Jika pun ada perasaan orang yang tertangkap olehmu, itu mungkin rasa amarah.
Aku melatih
rasa dengan pergi keluar kota. Kota yang memberimu jeda waktu dan ruang untuk
melihat hal-hal kecil di sekitarmu. Rasa yang muncul saat aku diajak bicara
kromo inggil dan diberi senyuman terindah di Jogjakarta. Vibe untuk pelan dan
tenang saat aku menikmati secangkir kopi di Ubud. Setidaknya kamu bisa
menikmati romantismenya Bandung seusai hujan. Perasaan tenag yang paling
paripurna adalah perasaan ada di rumah saat aku ada di Blitar.
Lingkungan yang mengizinkanku berjalan pelan itu yang melatih mata dan hati ini melihat sekitarku. Mengkalibrasi pikiran, perasaan, dan hati. Merasakan kembali apa itu emosi baik, ketulusan hati, dan rendahnya ego. Kamu akan menjadi spon dan bisa menyerap apa-apa yang ada di sekitarmu.
Pandemi ini
memaksaku untuk tinggal di Jakarta. Perasaanku mati bersemayam di hutan beton
ini. Aku merindukan masa di mana aku bisa banyak kata untuk kutuliskan menjadi puisi.
Saat aku bisa menikmati tarian, film, novel, atau teater dengan penuh rasa.
Sambating Ati
ini kembali tertantang ketika saat aku membaca buku Jejak Langkah tulisan Pram.
Bagian tengahnya bercerita tentang gadis Jepara yang terpenjara karena pingitan.
Namun demikian, pikirannya tetap bebas dan maju. Permasalahan yang dihadapi
perempuan disekitarnya tetap ia rasakan. Tulisannya menginspirasi banyak orang,
tak terkecuali pembesar Hindia Belanda saat itu.
Ah, dia kan
tinggal di Jepara, bukan di Batavia. Halah… yowis karepmu.
Aku cuma berdoa
pandemi ini segera berakhir. Biso rumongso iku larang regane.
Ditulis di cafe
kota Jakarta yang dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar