Hidup Belum Tentu Berjalan Seperti Bajingan - Catatan Kecil

Selasa, 21 Desember 2021

Hidup Belum Tentu Berjalan Seperti Bajingan

Lagu itu mulai mengalun saat es di kopiku mulai mencair setengahnya. Buku yang kubaca kutaruh sebentar. Kupasang dengar lebih tajam dari biasanya. Sang penyanyi mulai melantunkan liriknya. Begini kata Nadin Hamizah dalam Bertaut.

 

Bun, hidup berjalan seperti bajingan

Seperti landak yang tak punya teman

 

Kubiarkan lagu itu berlalu, sambil kukenang dalam liriknya.

 


Di kesempatan lain, aku dan seorang sahabat berada di Bali. Kami hendak pergi ke Tulamben dari posisi kami di Ubud. Kucari rute terbaik di Google Map. Aku diarahkan oleh peta elektronik ini ke arah utara melalui Danau Batur. Awalnya kami sangat menikmati perjalanan ini. Melalui desa asri, persawahan terhampar luas, dan jalanan mulus tapi sepi. Ada saatnya kami menyusuri tepian Danau Batur dengan hawa yang sejuk.

 

Permasalahan dimulai setelah kawasan Danau Batur. Jalanan mulai mendaki dan sulit. Di beberapa titik, sepeda motor kami yang 150cc bahkan tidak kuat mengangkat kami berdua. Sebagai yang punya badan besar dan lebih gampang dipersalahkan mengenai beban, akhirnya aku turun dan jalan kaki sampai di titik motor kembali normal. Di titik lain, kami melewati turunan curam yang sedikit saja terlambat mengerem, kami tidak akan bisa menikmati Nasi Kedawetan Ibu Mangku selepas pulang.

 

Singkat kata kami sampai ke Tulamben. Aku iseng mengganti warna peta menjadi indeks ketinggian. Aku baru sadar kami dilewatkan gunung. Sebuah tempat yang menjadi pilihan tak bijak untuk dilalui motor matic. Saat pulang, aku memilih jalur lain yang lebih manusiawi walau jauh memutar.

 

Peta memang tak menggambarkan kenyataan secara detail. Ada faktor kompleks yang dipangkas untuk mendapatkan kesederhanaan penjelasan. Kita tidak bisa mengandalkan peta sepenuhnya, namun dia bisa menjadi alat bantu. Tidak sepenuhnya akurat, tapi cukup bisa menjelaskan. Peta itu termasuk jenis pemodelan.

 

Pun dengan analogi. Kita sering menggunakan perandaian untuk menyederhanakan penjelasan yang disampaikan ke seseorang agar lebih mudah dipahami. Seperti dalam teknik pemodelan lain, banyak faktor yang dipangkas untuk mendapatkan kesederhanaan. Untuk menjelaskan lebih detail, kamu harus menarik lagi penjelasanmu dari analogi tersebut kembali ke kenyataan.

 

Hal yang aku benci dari analogi adalah menganalogikan persoalan hidup. Banyak analogi hidup yang kita dengar sejak kita mulai ditampar kenyataan. Dengan niatan meringankan penderitaan kita, orang lain mulai berceramah tentang hidup menggunakan analogi. Hidup itu bagaikan….

 

Dalam pengandaian itu, banyak faktor yang dipangkas seperti kondisi perasaan, situasi pendukung, reaksi orang sekitar, atau keberuntungan tidak berpihak. Kita dipaksa untuk tidak menjejakkan kaki di persoalan sebenarnya hanya untuk mengejar kesederhanaan pikirian. Seolah persoalan yang kita hadapi itu jalan lurus dan datar seperti pemodelan peta sederhana.

 

Kesalahan pemilihan analogi menjadi hal yang menyebalkan kedua. Untuk mengacaukan persoalan sebenarnya, ada yang memilih analogi yang sama sekali tidak menggambarkan keadaan yang terjadi. Pendengar digiring untuk masuk ke analogi yang disampaikan dan meninggalkan jauh inti persoalan sebenarnya.

 

Hal yang menyebalkan lagi adalah, kita cenderung menggambarkan diri kita menjadi tokoh protagonist dalam cerita analogi tersebut. Melindungi diri dan keengganan untuk menunjuk hidung siapa yang bermasalah menjadi latar kenapa kita cenderung menggambarkan diri kita sebagai pahlawan atau korban dalam sebuah analogi. Kita tidak pernah menggambarkan diri kita menjadi kurawa atau sengkuni dalam cerita mahabarata, padahal kita sangat mungkin lebih berangasan dari pada kurawa dan lebih licik dari sengkuni.

 

Hadapi saja kenyataan hidup yang ada. Tunjuk saja di mana titik yang busuk. Bukan untuk menyerah, namun untuk memperbaiki. Aku benci saat kita menipiskan kenyataan. Kita tidak bisa menutupi bau bangkai dengan tumpukan bunga melati.


 ***


Es dalam gelas kopi susuku terus mencair. Gelasnya mulai berembun banyak. Lagu itu terus megalun sampai habis hingga berganti lagu lain. Liriknya masih tersisa di ingatan. Apakah hidup sesederhana di lirik lagu itu? Hidup belum tentu berjalan seperti bajingan, karena sangat mungkin lebih jahat dan lebih menyakitkan. 




Photo by Sonnie Hiles on Unsplash

Tidak ada komentar:

Posting Komentar