Omelan Tentang Transportasi Jakarta - Catatan Kecil

Minggu, 19 Desember 2021

Omelan Tentang Transportasi Jakarta

Malam itu, seusai hujan rintik-rintik, aku melajukan sepedaku mengitari lapangan merdeka, atau lebih diknenal lapangan Monas, di pusat kota. Setelah mengitari lapangan tersebut empat kali dan merasa aku telah mengucurkan keringat yang cukup untuk disebut olahraga, aku memutuskan untuk pulang. Aku mengarahkan sepedaku ke daerah tugu tani. Setelah lampu merah, aku melaju seperti biasa menuju ke arah Cikini.

 

Di antara mobil-mobil, tiba-tiba banku terperosok ke celah kecil penutup lubang drainase. Karena seolah banku dijepit, sepedaku langsung limbung. Aku terpelanting. Beruntung mobil di belakangku sempat mengerem, sehingga aku selamat dari kecelakaan lebih lanjut. Banku bengkok tak karuan dan harus diganti. Lubang tersebut tak pernah aku sadari karena itu tidak akan terasa bagi sepeda motor atau mobil. Sangat berbahaya untuk sepeda yang mempunyai penampang ban yang kecil.

 


Kisah lain di saat makan siang di kantor, ada seorang kawan mengomel-ngomel. Di daerah tempat tinggalnya, sedang ada pelebaran trotoar untuk pejalan kaki. Dia, sebagai pengguna mobil, merasa itu mengganggu kelancaran berkendara. Laju mobil lebih lambat dari biasanya. Omelan yang sama aku baca juga dari cuitan seorang politisi yang sudah ditendang keluar oleh partainya. Dia ngomel soal pelebaran trotoar di daerah Kemang. Dia menganngap ini tidak pro pengendara mobil.

 

Kisah lain saat aku berjalan kaki, lagi-lagi, di daerah Tugu Tani. Aku merasa sangat kesulitan untuk menyebrang dari KFC ke arah Tugu Tani. Di tempat itu ada zebra cross, namun rasanya sangat berbahaya kalau kita menggunakannya mengingat padatnya lalu lintas di kawasan itu. Rasanya aku sudah melewati Tugu Tani ratusan kali, tapi tak pernah menyadari kesulitan tersebut karena aku selalu lewat menggunakan sepeda motor.

 

Sebagai manusia, rasanya kita memang ingin rasa nyaman dalam segala hal, termasuk berkendara. Permasalahan terjadi ketika kenyamanan kita bersinggungan dengan kenyamanan orang lain. Konflik terjadi di antara irisan zona kenyamanan antar orang. Di situlah peran dari aturan dan hukum. Tidak semua orang bisa mendapatkan kenyamanan yang penuh, namun tidak sampai menderita juga.

 

Lalu, orang mana yang harus didulukan untuk mendapatkan prioritas kenyamanan. Nah, di sini pentingnya narasi pembangunan. Pak Gubernur sudah menyatakan bahwa prioritas transportasi adalah pejalan kaki, lalu kendaraan bebas emisi, lalu transportasi publik, dan terakhir adalah kendaraan motor pibadi.

 

Beberapa tahun terakhir, memang pembangunan Jakarta mengikuti narasi pembangunan ini. Trotoar dibuat lebar, nyaman dan aman. Jalur permanen sepeda dibuat di beberapa ruas. Penambahan dan pengintegrasian layanan transportasi umum juga semakin baik.

 

Kebijakan tidak mungkin menyenangkan semua pihak. Aku tidak akan menyalahkan siapa yang mengeluh tentang kenyamanannya terganggu karena memang manusia itu makhluk sambat, namun rasanya perlu kita mencoba sekali-kali berdiri di sepatu orang lain dalam hal transportasi ini. Sudah terlalu sering rasanya aku membaca perang cuitan di media sosial mengenai urusan bagaimana manusia berpindah.

 

Pesepeda ngomel tentang motor yang mengambil jalur sepeda, mobil yang ngomel karena pesepeda yang bergerombol, motor yang mengomel mobil memenuhi jalanan dari kanan sampai kiri, dan segala omelan tentang transportasi Jakarta. Semua terjadi di atas sepatu masing-masing.

 

Atau sebenarnya kita tidak perlu berdiri di sepatu orang. Hanya dibutuhkan ruang dialog antar pengguna moda untuk mendapatkan tesa, antitesa dan sintesa secara terus menerus, sehingga kebijakan transportasi ini akan dapat diterima oleh semua orang. Tidak mungkin sempurna, setidaknya diterima.

 

Siapapun gubernur dari Jakarta tidak bisa menghentikan omelan-omelan yang akan abadi terjadi di kota ini karena sekali lagi, kita memantg makhluk sambat. Aku teringat satu cuitan yang aku baca di twitter. Ada yang bilang, "Pas gue naik sepeda, gue ngomel-ngomel ke mobil yang menuhin jalanan. Pas selesai sepedahan dan sepedanya gue naikin ke mobil, gue mulai ngomel ke pesepeda yang ngerasa punya jalan."


Iya, tulisan ini juga sebuah omelan dari seseorang yang sangat cinta dengan kota ini. Tak punya kuasa banyak, hanya mengomel yang dia bisa. Akhirnya aku balik lagi ke sepeda yang kukayuh di Jakarta ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar