Catatan Kecil

Selasa, 03 November 2015

Kereta malam ini

November 03, 2015 0
Kereta malam ini

Menjejaki setiap meter mendekat ke kota itu
Kota yang menjadi nyawa dalam ceritaku
Aku dibawa sajakku ke sana

Tuhan memang tak pernah menjanjikan sesuatu itu selalu sama
Perjalanan ini pun menjadi cerita yang berbeda
Dan aku tak suka dengan itu

Aku meninggalkan cerita lama dengan manis di setiap meternya
Berdamai dengan cerita baru di ujung rel ini
Dan menyusun sajak baru di sana

Ditulis di atas rel ke Bandung
3 November 2015

Rabu, 07 Oktober 2015

Semangat Pagi

Oktober 07, 2015 0
Semangat Pagi

Pernahkah engkau merasa sangat sedih? Seakan engkau dihukum oleh kehidupan. Tidak ada orang bersamamu, dan tidak ada alasan lagi untukmu berjalan. Aku pernah, dulu.

Lalu aku berbaring di kamar kakakku. Kulihat sebuah kertas kecil yang tertempel di dinding. Seketika aku tersenyum. Merasa menjelma menjadi seorang jendral dengan ratusan ribu bala tentara di belakang yang siap menghadapi apa yang di depan.

Pernahkah engkau bingung mau ke mana, dan rasanya tiada energi untuk sekadar bangun. Merasa sendiri di tengah ramainya kota, dan merasa tiada orang yang tersenyum padamu. Aku pernah, tadi.

Pagi ini aku buka HPku dan melihat beberapa foto di dunia maya. Kutemukan sebuah foto dengan tulisan. Seketika aku tersenyum, dan seakan menjelma menjadi seorang direktur dengan ribuan pegawai dengan visi yang sama.

Kertas yang tertempel di kamar dan foto tadi mempunyai tulisan yang sama:

"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman."

QS Ali Imran :139

Terlibat

Oktober 07, 2015 0
Terlibat

Aku tak ingin menjadi seperti pygmalion
Yang jatuh cinta pada galatea
Dan pada dewa-dewi ia meminta
Untuk menjadikannya nyata

Aku tak ingin menjadi seperti dalang
Yang jatuh cinta pada sinta
Dan menghadang rama dan rahwana
Lalu membunuh keduanya

Diam

Oktober 07, 2015 0
Diam
Hatiku tidak bersamaku saat ini. Dia memilih duduk-duduk beberapa meter dari tempatku duduk bersama wanita yang memunggungiku saat ini. Wanita itu mendiamkan hatiku yang berteriak tepat ditelinganya. Diamnya tak memutuskan usahanya untuk memasukkan pesan-pesan manis nan basi ke telinganya. Aku yang duduk memandangi hatiku dan wanita itu mulai resah. Kenapa hati itu tetap berusaha dalam diamnya wanita? Apakah hatiku terlalu bodoh untuk melangkah mundur dan kembali bersamaku?

Sabtu, 03 Oktober 2015

Putus

Oktober 03, 2015 0
Putus
Ruang tunggu ini tidaklah terlalu luas. Hanya 5x5 meter,  terdapat 9 kursi dan 3 meja. Namun ruang itu dipenuhi beberapa orang yang hendak menonton film pendek. Aku kira ada 20 sampai 30 orang disitu. Beberapa berdiri, beberapa memilih menunggu sambli merokok di luar. Aku datang sendiri ke tempat itu. Aku menemukan hobi baru, menonton film pendek. Duh, serasa seniman sekali. Padahal soal nada, aku tak bisa bedakan antara fals dan etnik. Menggambar? Mungkin lukisan pemandangan dua gunung dan sawah yang kubuat pada waktu SMA adalah karya terbaikku.

Berdiri sambil melihat ke handphoneku. Mungkin ada yang menghubungiku. Ternyata tidak, sepi. Seperti malam minggu yang lain. Semua orang di situ terasa normal. Hanya satu orang yang menarik perhatianku. Seorang lelaki yang duduk di pojok. Kulitnya putih, bermata sipit. Aku kira umurnya tidak lebih dari 30. Berkaus hitam, bercelana katun hitam, dan bersepatu pantofel hitam bersih. Rapi sekali untuk sekelas orang yang hobi menonton film pendek. Dia nampak ada yang dipikirkannya. Sesekali dia melihat HPnya, berharap sesuatu muncul dari layar. Nihil. Dia memasukkannya lagi ke saku celana. Lima menit berselang, kembali dia meliahat HPnya. Nihil lagi. Pandangannya kembali melayang ke semak gelap di sebelahnya. Sangat terlihat dia ingin menghibur diri. Bosan dengan semak, pandangannya melayang ke penonton yang lain. Pandangan kosongnya menggambarkan dia ingin pergi ke suatu tempat saat itu.

Ketika film akan diputar, dia masuk pertama ke theatre. Mungkin berharap tidak seorangpun mengenalinya dan dia akan nyaman bila di dalam gelap. Hai, pernahkah kalian juga merasakan bahwa gelap merupakan tempat paling aman dan nyaman bila kalian tak ingin berjumpa dengan siapa-siapa? Ketika film benar-benar dimulai, semua terdiam. Semua aman dalam kegelapan. Tidak ada yang membedakan kau datang sendiri apa tidak. Setelah film selesai, penonton langsung pergi ke pintu keluar. Namun pria berkaus hitam ini tidak. Duduk-duduk dulu, seakan dia berharap akan terputar film lagi, ruang gelap lagi, dan dia aman lagi.

Seminggu Kemudian

Kembali aku ke ruang tunggu ini. Kali ini aku bersama temanku. Seperti biasa, ramai. Rokok, buku, dan perbincangan tentang film kembali memenuhi ruangan itu. Hey, aku melihat pria itu lagi. Pakaiannya sama seperti minggu lalu. Berkaus hitam, bercelana katun hitam, dan bersepatu pantofel hitam. Bersih dan rapi, seperti minggu lalu. Kali ini dia lebih gelisah dari minggu lalu. Gusar sekali. Pandangannya liar tapi kosong. Sering memandang ke bawah. Ke sepatu hitamnya. Mau apa dia? Sedang apa dia? Mau merampok di sini? Di sini hanya ada roll film pendek. Tidak lebih. Semaniak-maniaknya orang yang gemar film tidak akan merampok roll film.

Aku bertanya ke temanku, “Hey, apakah mungkin ada orang yang berencana merampok bioskop film pendek?”

“Kalau dia intel, yang mungkin saja.”

“Apakah mungkin pria berkaus hitam itu intel?”

“Ah, dia terlau gagah, tak seperti Ethan Hunt.”

“Otakmu hanya film Hollywood saja. Memangnya intel segagah ethan hunt yang mencokok maling sandal atau bandar ganja?”

Aku kembali memperhatikan pria berkaus hitam itu. Walau lebih gusar dari minggu lalu, dia tidak menyentuh HPnya kali ini. Tanggan dan kakinya nampak tak bisa diam. Sesekali berdiri, dan duduk lagi. Ah, terlalu mencolok untuk ukuran intel.

Seminggu Kemudian

Kali ini aku sendiri. Ke ruang tunggu ini. Entah kenapa aku malah mencari intel berkaus hitam itu. Aha, dia ada. Berkaus hitam, celana katun hitam, dan bersepatu pantofel hitam. Bersih dan rapi. Sama seperti minggu-minggu sebelumnya. Yang paling aku ingin lihat adalah ekspresinya. Minggu ini nampaknya dia sedang bersedih. Hanya tertunduk ke bawah. Matanya tak liar seperti biasanya. Menunduk saja. Helaan nafas yang dalam sesekali terdengar. Hanya diam.

Seminggu Kemudian

Aku bukan homoseksual, aku tidak jatuh cinta pada lelaki berkaus hitam itu, namun entah aku berharap dia ada di ruang tunggu itu. Ketika aku sampai di sana, dia ada. Mungkin aku sudah terobsesi pada sesuatu yang tidak wajar. Masih sama, berkaus hitam, bercelana katun hitam, dan sepatu pantofel hitam. Bersih dan rapi. Kali ini wajahnya sangat kalem. Aku melihat sebuah senyum yang sangat dalam. Sebuah keihlasan akan bisa dilihat siapa saja. Sebenarnya ada apa dengan orang ini? Daripada aku lebih terobsesi pada orang ini, aku mendekatinya. Hey, sekali lagi aku bukan homoseksual. Aku mendekat kepadanya, dan aku menyodorkan tanganku. Hendak kujabat tangannya. Dia menjabat tanganku. Aku bertanya kepadanya, “Sebenarnya apa yang terjadi kepadamu?”

“Semua sudah berakhir, dan aku mengikhlaskannya”

Sabtu, 12 September 2015

Sesederhana itu

September 12, 2015 0
Sesederhana itu

Ketika kesederhanaan menjadi sebuah kemewahan
Ketika bahagia dan kesedihan jadi rancu dalam definisinya
Aku mau membeli kesederhanaan itu
Aku mau mencari definisi itu

Merindukan akal sehat sebagai hakim
Merindukan logika sebagai pengadil
Merindukan hati nurani sebagai penyeimbang
Merindukan iman sebagai pengambil keputusan

Membuat keputusan besar untuk mengembalikan kesederhanaan
Kesederhanaan berpikir
Kesederhanaan merasa
Kesederhanaan bahagia

Langkah besar itu berat
Langkah besar itu kadang perih
Tapi pada akhirnya dia akan mengembalikan kesederhanaan itu

Bahagia itu sederhana, tapi pikiran kita yang menutupinya


Kemang, 13 September 2015
Dalam kegalauan mencari akal sehat

Sabtu, 05 September 2015

Separuh Hadir

September 05, 2015 0
Separuh Hadir

Engkau yang bersamaku saat ini

Menatap matamu yang kosong itu

Tubuhmu hadir tapi ruhmu tidak

Tawamu terdengar tapi bahagiamu lenyap

Engkau yang terjebak pada masa lalumu

Tidakkah kau bisa bersamaku dengan utuh?

Berjalan dan bergandengan tangan denganku dengan seutuhnya dirimu

Engkau yang terus meronta dariku

Ku coba menggenggammu sekuat tenaga

Kuat dan rapat

Tapi tanganku mulai lemah, dan menyerah

Bukan aku tak berusaha, tapi aku tak kuasa

Melepasmu bukan keinginan, menahanmu bukan jawaban

Menunggumu menari sampai dirimu lelah, dan kembali padaku

Itu pun cuma jika engkau mau kembali


Kemang, 5 September 2015

Insipired from Korean Drama, Hello Monster
Seriusan, bukan puisi galau. Cuma keisengan waktu baca sajaknya Rendra sambil nonton K-Drama