Catatan Kecil

Minggu, 27 Mei 2012

Bukan Sekadar Pekerjaan, Tetapi Soal Peran

Mei 27, 2012 1
Bukan Sekadar Pekerjaan, Tetapi Soal Peran

Sudah lama saya ingin menulis opini tentang hal ini. Akhirnya kali ini saya memberanikan diri untuk menulis tentang ibu rumah tangga. Ada beberapa hal yang membuat saya tidak berani pada awalnya untuk menulis tentang ibu rumah tangga. Pertama, saya bukan seorang perempuan, dan tidak mungkin menjadi ibu rumah tangga. Kedua adalah ibu rumah tangga adalah peran yang sangat mulia dan saya khawatir akan mendangkalkan karena opini yang tidak sesuai. Ketiga saya belum menikah. Tiga alasan itu cukup untuk saya menunda tulisan ini.
Pernahkah Anda mendengar seseorang berkata, “Pekerjaan saya hanya ibu rumah tangga” atau “Kebetulan saya adalah ibu rumah tangga.” Kalimat ini sangat menganggu saya. Pertama, saya tidak setuju jika ibu rumah tangga adalah pekerjaan. Saya lebih nyaman menyebut ibu rumah tangga adalah peran, karena saya menangkap kesan, pekerjaan lebih condong sesuatu yang bergaji, dan sangat memungkinkan pendapat saya ini salah. Kedua adalah kata “hanya” dan “kebetulan” rasanya tidak terlalu pantas untuk disandangkan ke peran yang sangat mulia. Kata hanya dan kebetulan merepresentasikan sebuah peran yang sekadarnya. Ada tanggung jawab yang sangat besar yang harus dipikul oleh seseorang perempuan yang memberanikan diri mengambil peran sebagai ibu rumah tangga.

Antara Wanita Karier dan Ibu Rumah Tangga
“Saya bingung memilih menjadi wanita karier atau ibu rumah tangga”. Pertama yang harus diluruskan adalah konsep kita tentang karier. Seperti yang di ungkapkan oleh @ReneCC bahwa karier bukanlah mengenai jabatan. Karier bukanlah mengenai gaji, fasilitas dinas, company, ataupun promosi-demosi. Karena itu karier mengenai kita dan perjalanan hidup kita. Kedua adalah, rasanya tidak bijak ketika kita memisahkan antara karier dan ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga adalah karier pertama dan utama dari seorang perempuan yang menikah. Lho berarti perempuan ga boleh kerja? Saya tidak mengatakan demikian. Seorang perempuan silahkan memilih untuk bekerja atau tidak. Itu keputusan masing-masing yang tentu saja harus didiskusikan dengan suami. Tetapi, ketika seorang perempuan memutuskan untuk bekerja, maka peran menjadi ibu rumah tangga harus tetap menjadi prioritas. Jadi keputusan bekerja atau tidak, itu kembali ke pilihan masing-masing.
Seorang perempuan yang memutuskan mengambil pilihan untuk tidak bekerja dan mengambil peran sebagai ibu rumah tangga secara penuh, adalah perempuan yang berani dan mempunyai keikhlasan tinggi. Mereka rela dan sangat ikhlas memberikan kesempatan suami mereka untuk mempunyai pekerjaan cemerlang, padahal sangat memungkinkan mereka mempunyai potensi yang lebih besar untuk cemerlang dibanding suami mereka. Butuh keberanian dan keikhlasan tinggi untuk mengambil keputusan ini. Jadi para suami, berterimakasihlah kepada istri Anda semua.

Peran Luar Biasa
            Apakah Anda tahu bahwa kebanyakan keputusan pembelian properti itu diputuskan oleh perempuan, bukan suaminya. Karena itu perusahan properti memilih majalah wanita sebagai media promosi. Ada satu hal yang patut dicermati yaitu, Pak Hermawan Kartajaya mengatakan bahwa, dari survey yang dilakukan Mark Plus, 84% Chief Finance Officer (CFO) dari rumah tangga Indonesia adalah perempuan, yaitu ibu rumah tangga. Bukan hanya dari manajemen keuangan, Ibu adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Bukan peran yang gampang dan remeh menjadi ibu rumah tangga. Lalu apakah seorang ibu rumah tangga harus berpendidikan tinggi untuk melaksanakan tugasnya dengan baik?
            Dulu saya berpikir, untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik harus berpendidikan formal yang tinggi, ternyata ada ibu rumah tangga yang tidak berpendidikan formal tinggi pun bisa menjadi ibu rumah tangga yang dahsyat. Pernah mendengar kisah Mas Iwan Setyawan (@iwan9S10A) yang dikisahkan di dalam novel 9 Summer 10 Autumns. Ibu beliau yang “memaksa” mas Iwan untuk kuliah dan mengatur kondisi keluarga agar bisa mengirim mas Iwan kuliah. Ibunya mas Iwan, yang memilih menjadi ibu rumah tangga selama hidupnya, memiliki visi yang jauh, besar, dan jelas tentang pendidikan. Sedikit kurang bisa dipercaya bahwa seorang perempuan, yang tidak lulus SD sekalipun, bisa mempunyai visi yang besar tentang pendidikan. Tidak hanya mempunyai visi, beliau bisa memanage kondisi keluarga sedemikian rupa agar  bisa mengirim mas Iwan Kuliah. Dan pada akhirnya Mas Iwan bisa memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya. Ibunya Mas Iwan memang tidak mendapat pengajaran yang tinggi, tetapi beliau tercerahkan. Dilihat dari kisah ini betapa besar peran seorang ibu rumah tangga dan pentingnya ibu rumah tangga menjadi “The Super Manager” bagi keluarganya.
***
            Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti harus meninggalkan pekerjaan, tetapi sebuah kesadaran akan peran tanggung jawab yang besar dalam sebuah keluarga. Peran kepada Tuhan, peran kepada keluarga, dan peran kepada lingkungan. Mengutamakan peran yang luar biasa besar ini di atas pekerjaan formal. Kewajiban bagi seorang perempuan untuk meningkatkan kapasitas diri untuk menjadi “The Super Manager” bagi setiap keluarga Indonesia. Kualitas masa depan Indonesia dipengaruhi oleh kualitas ibu rumah tangga Indonesia, karena pada merekalah kualitas penerus bangsa ini dibentuk. Ibu yang mengurus keluarga dengan kasih sayang akan melahirkan generasi penyayang. Setelah ini, saya harap tidak ada yang menyandingka kata “hanya” dan “kebetulan” dengan “Ibu Rumah Tangga”, karena ibu rumah tangga itu mulia.
            Berterima kasihlah wahai para suami dan laki-laki Indonesia. Berterima kasihlah kepada istri dan ibu kita. Berterima kasihlah untuk peran yang berani dipikul oleh perempuan super Indonesia. Ada peran yang dititipkan Tuhan kepada mereka di dalam setiap keberhasilan kita. Thanks Mom!!!

Tulisan ini dipersembahkan untuk seluruh perempuan super Indonesia...

Salam Optimis untuk Indonesia
@Hardian_cahya

Selasa, 08 Mei 2012

Seberapa Sukses Eventmu?

Mei 08, 2012 0
Seberapa Sukses Eventmu?

“Gimana event kamu kemarin?”
“Sukses Bro, yang datang banyak, dan apresiasinya bagus”
“Wuiih...Selamat ya..”
“Makasih”

Event yang sukses, adalah dambaan setiap orang yang pernah berkecimpung di dunia event organizer, entah itu yang profit ataupun yang nonprofit. Pengunjung banyak, apresiasi bagus, profit besar akan menyenangkan hati sang EO. Tapi, pertanyaannya adalah, event yang sukses itu seperti apa? Apakah dapat diukur dari angka pengunjung atau profit? Apakah dapat diukur dari pujian yang masuk? Ataukah ada parameter lain?

Setiap EO yang baik pasti membuat parameter keberhasilan ketika akan menyelenggarakan sebuah event. Biasanya mereka akan mengevaluasi kesuksesan acara dari pencapaian parameter tersebut. Parameter setiap event tentu berbeda tergantung dari bentuk event dan penyelenggaranya. Setiap EO berhak menentukan parameter kesuksesan setiap event mereka sendiri, tapi menurut saya pribadi, parameter yang dibuat tidak cukup untuk menentukan kesuksesan sebuah event. Disamping ada parameter kesuksesan, harus ada pembanding sehingga event yang diselenggarakan dikatakan berhasil.

Parameter Kesuksesan Event
Seperti yang saya katakan di atas, setiap EO berhak menentukan parameter keberhasilan setiap event tergantung muatan dan bentuk event itu sendiri, tapi ada beberapa prinsip yang menurut saya pribadi harus ada di setiap event kalau mau dikatakan event itu sukses.

Pertama adalah, setiap event harus membuat panitia dan pesertanya lebih dekat dengan Tuhannya. Bukan berarti harus event agama, tetapi event apapun sebaiknya harus membuat setiap yang terlibat lebih dekat dengan Tuhannya. Contohnya di seminar, seminar apapun kalau ada ilmu pengetahuan  baru, ilmu pengetahuan itu harus lebih membuat dekat dengan Tuhan. Pun di event musik atau seni. Apapun konten acaranya, akan jauh lebih baik jika membuat peserta dan panitianya lebih dekat dengan Tuhan. Celakanya, beberapa EO lebih sibuk menyiapkan acara sehingga melupakan waktu ibadah. Dan paling celaka adalah, ketika event itu berdurasi panjang, peserta atau semua orang yang terlibat melewatkan kewajiban ibadah. Mungkin semua senang event itu berjalan lancar dan apresiasi bagus, tetapi buat apa kalau mereka melewatkan waktu ibadah. Pecuma kalau semua senang tapi keberkahan melayang. Keberkahan merupakan hal yang sangat penting, bahkan lebih penting daripada apresiasi manusia.

Kedua, adalah event akan dikatakan sukses jika bermanfaat kepada semua orang yang terlibat, baik peserta, EO, masyarakat sekitar, tim pendukung, sponsor, dan lain-lain. Kebermanfaatan harus ada disetiap event. Bukan dinilai dari angka pengunjung dan nilai profit yang masuk, tetapi manfaat yang diberikan haruslah besar. Memang idealnya adalah eventnya bermanfaat, pengunjungnya banyak, sehingga manfaat itu bisa dirasakan oleh orang banyak. Kebermanfaatan ini juga harus dirasakan oleh alam dan lingkungan hidup. Event hendaknya tidak menimbulkan efek negatif kepada alam dan lingkungan. Saya sangat mengapresiasi di beberapa event mulai ada kebiasaan meminimalkan sampah plastik dengan cara meminta peserta atau pengunjung membawa botol sendiri. Langkah kecil ini akan sangat bermanfaat bagi alam.

Coba Bandingkan
Ketika selesai acara, para EO akan mengevaluasi berdasarkan parameter yang telah dibuat. Jika parameternya positif, maka semua akan bergembira. Sebenarnya ada yang harus dilakukan dalam evaluasi, yaitu membandingkan dengan event lain yang sejenis. Butuh keberanian dan kebesaran jiwa untuk membandingkan event kita dengan event orang lain. Membandingkan dengan siapa? Apa yang dibandingkan?

Pertama, kita harus membandingkan dengan event kita sebelumnya. Jika event sebelumnya lebih bagus, maka harus ada koreksi yang cukup serius dalam pelaksanaan event kita. Bukankah jika hari ini lebih buruk dari kemarin maa kita disebut celaka. Ada kemungkinan kita tidak belajar dari kesalahan masa lalu.

Kedua adalah membandingkan dengan event lain yang sejenis. Kita harus evaluasi dan belajar beberapa aspek dengan membandingkannya. Contohnya tentang efektifitas dana. Jika ada event lain yang menggunakan dana yang sama atau bahkan lebih kecil dari event kita, tetapi mempunyai impact yang lebih besar, maka ada yang harus dibenahi dengan penyelenggaraan event. Atau ada event lain yang jauh lebih kreatif dan unik konsepnya, maka EO itu harus dengan senang hati mengoreksi dan belajar dari EO lain. Kalaupun event kita lebih bagus, maka harus ada yang dipelajari agar kesalahan yang dilakukan EO lain tidak kita lakukan di kemudian hari.

Membandingkan bukan berarti kita tidak bersyukur atas apa yang kita capai. Membandingkan merupakan metode agar kita tidak cepat berpuas diri dan menganggap kita telah mencapai yang terbaik. Membandingkan juga sarana koreksi dan belajar untu penyelenggaraan event kita yang lebih baik.

Semoga setiap event kita  lebih mendekatkan kepada Tuhan, bermanfaat bagi sesama dan alam, dan semakin baik kedepannya.

Salam Optimis untuk Indonesia!
@Hardian_cahya

Sabtu, 24 Maret 2012

Catatan Kecil tentang Kritik dan Karya

Maret 24, 2012 3
Catatan Kecil tentang Kritik dan Karya
Sore itu seorang kawan mengomentari sebuah selebaran propaganda yang dibuat oleh salah satu organisasi pergerakan mahasiswa. Propaganda itu berisi tentang kenaikan harga BBM dan menawarkan solusi dengan menggunakan suatu sistem. Kawanku itu berkata, “Kalo bikin tulisan, lebih berkelas sedikit lah!” Saya sendiri sebenarnya kurang sependapat dengan isi dan solusi yang ditawarkan propaganda itu, tetapi saya tidak berani menghujat, karena saya tahu membuat tulisan propaganda politik itu tidaklah mudah. Diperlukan pemikiran, data, dan analisa yang cukup untuk membuat sebuah tulisan propaganda politik. Diperlukan sebuah niat yang besar untuk merampungkan sebuah tulisan, dan diperlukan keberanian yang hebat untuk mencetak dan menyebarkannya.

Saya pernah merasakan kekecewaan karena kalah lomba menulis, dan saya tahu bagaimana susahnya bikin tulisan propaganda yang bagus. Sangat sombong rasanya ketika saya ikut-ikutan mencerca tulisan orang lain sekalipun saya tidak setuju isi dari tulisan tersebut. Sering dulu saya meremehkan novel atau karya tulisan orang lain. Setelah saya renungkan, saya bisa mencerca dan meremehkan tulisan orang lain sebelum saya belajar menulis. Setelah belajar menulis, berpikir ulang untuk mencerca karya orang lain.

Teringat sebuah kalimat yang diutarakan oleh seorang sahabat, @aldamonn. Dia berkata “Jangan mengatakan lagu seseoarang itu jelek, tapi katakanlah lagu itu terdengar sedikit aneh di telingaku, karena setiap orang berbeda selera musiknya” dan dia juga berkata “jangan menilai lagu dari penyanyinya.” Saya berpikir, kalimat ini hanya bisa diucapkan oleh seorang penyanyi dan pencipta lagu, karena memang @aldamonn merupakan penyanyi dan pencipta lagu. Hanya orang yang tahu dan mengalami susahnya bikin lagu yang bisa berkata seperti itu. Rasanya mustahil kalimat itu muncul dan terucap dari seseorang yang jauh dari dunia tarik suara dan lagu.

Apakah tidak boleh kita mengkritik suatu karya seseorang? Tentu saja boleh, bahkan seseorang yang menghasilkan karya sangat perlu dan butuh kiritikan dari penikmat karyanya, tetapi sebagain seseorang yang terdidik, kita harus bisa membedakan kritik dan cerca. Kritik itu didasari oleh sebuah pemahaman, sedangkan cerca lebih didasari ketidaksukaan dan emosi. Megungkapkan kritikan seharusnya lebih elegan dan lebih cerdas dibanding melontarkan cercaan. “Serang-menyerang” merupakan sesuatu yang lumrah dalam alam demokrasi, tetapi yang membedakan kelas seseorang adalah cara pengungkapan. Saya rasa cara seseorang mengapresiasi sebuah karya dapat menggambarkan pemahaman seseorang terhadap karya tersebut. Ketika seseorang paham akan sebuah karya, maka semakin elegan dalam mengungkapkan apresiasi dan kritiknya.

Kalau boleh mencontek perkataan @aldamonn, katakan saja.”Jangan katakan tulisan orang lain jelek, katakan saja saya tidak sepaham dan berbeda selera sastra dengan Anda”

Mari belajar bersama mengapresiasi setiap karya anak bangsa...

Salam Optimis untuk Indonesia.

@Hardian_cahya

Selasa, 20 Maret 2012

Memasarkan ILMI dengan Lebih Baik

Maret 20, 2012 0
Memasarkan ILMI dengan Lebih Baik

Assalamualaikum Wr Wb

Salah satu program KDR yang diadakan setiap tahun adalah ILMI. Program ini bertujuan memberi bekal kepeminpinan kepada peserta dalam menapaki tahun pertama mereka berorganisasi. Berbagai persiapan dilakukan oleh segenap panitia ILMI dan KDR untuk mensukseskan acara ini. Tetapi masalah setiap tahun yang dihadapi hampir sama, yaitu sulitnya mencari peserta dan terkendala dana. Apakah panitia kurang kerja keras dalam mensukseskan acara ini? I’m sure they are hard worker, but I’m not sure they use smart marketing strategy.

Harley Davidson, sebuah perusahaan motor besar, menerapkan smart strategy yang mungkin bisa kita tiru. Divisi pemasaran dari harley davidson hampir-hampir menganggur. Jika Robert T Kiyosaki berkata jangan bekerja untuk uang, tapi buat uang bekerja untuk Anda, HD menggunakan prinsip yang sama. Jangan bekerja untuk mendapatkan pelanggan, tapi buat pelanggan bekerja untuk company. HD menghubungkan para pecinta HD menjadi sebuah komunitas. Dari komunitas itulah HD meningkatkan penjualannya dengan mendrive para pecinta HD untuk mendapatkan kawan yang otomatis akan menjadi penggan baru HD. Prinsip marketing yang disebut oleh orang jawa sebagai strategi “gethok tular” ini menjadi sangat powerfull. Tentu saja hal ini dipakai oleh banyak perusahaan lain.

Siapa marketer paling powerfull bagi SM Entertainment dalam memasarkan Super Junior dan SNSD. Bukan orang marketing dari SM Entertainment, tetapi pelanggan yang membentuk ELF dan SONE. Mengapa hal ini menjadi sangat powerfull, karena pelanggan baru akan lebih percaya dengan omongan temannya dibanding poster dan iklan televisi. Saya tidak ingat kapan terakhir makan di sebuah tempat karena promosi di koran, tapi saya sangat sering mencoba di tempat makan karena rekomendasi teman atau tokoh kuliner. Berdasar Nielsen Online Global Consumer Study pada april 2007 menyatakan bahwa iklan di majalah dan radio menempati urutan enam dan tujuh dalam mempengaruhi orang dalam memakian produk. Urutan pertamanya apa? Rekomendasi dari customer sebelumnya.

Apa kekurangtepatan strategy marketing dari ILMI? Kita kurang merawat konsumen lama dan tidak menghubungkan mereka satu sama lain. Wacana pembentuka komunitas alumni ILMI tidak ditindaklanjuti dan dirawat. Dengan kata lain, service purna jual dari ILMI perlu banyak diperbaiki. Menghubungkan para konsumen dan memberikan service purna jual yang baik merupakan keharusan bagi sebuah company untuk bertahan di New Wave Marketing. Apakah hal ini akan membuat berat para punggawa KDR? Pada awalnya iya, karena harus ada energi yang tercurah dalam program ini, tetapi saya perkirakan, kita akan lebih ringan untuk mendapatkan calon konsumen yang baru pada penyelenggaraan ILMI tahun selanjutnya. Service purna jual yang dimaksud tidak harus menggunakan energi yang terlalu besar. Memanfaatkan social media merupakan salah satu jalan yang membantu, tetapi tidak cukup karena karakter orang Indonesia adalah orang yang suka nongkrong. Harus ada pertemuan secara fisik dan berkala. Membuat program kumpulan alumni sebulan sekali atau dua bulan sekali harus dilakukan KDR dan panitia penyelenggara untuk memberi service purna jual yang baik. Bentuk acaranya terserah dari kawan-kawan KDR, tetapi yang cukup menarik dan bermanfaat. Langkah selanjutnya adalah mendrive para konsumen lama ini menjadi marketer ILMI untuk penyelnggaraan ILMI selanjutnya.

Semoga sumbangan ide kecil ini menjadi salah satu pertimabangan kawan-kawan KDR baru dalam melangkah. Semoga Allah meridhoi setiap langkah dan karya kita.

Salam Optimis untuk Indonesia,

Wassalamualaikum Wr Wb.

@Hardian_cahya

Senin, 19 Maret 2012

Diversifikasi Keahlian Kader

Maret 19, 2012 0
Diversifikasi Keahlian Kader
Start from Bismillah...

Ini adalah catatan kecil untuk kawan-kawan pejuang KDR SKI yang tengah berjuang menghasilkan kader tangguh. Sumbangsih pikiran-pikiran kecil yang semoga bermanfaat.

Pada sekitar tahun 2004, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) memberikan beasiswa besar-besaran kepada para dosen untuk melanjutkan study ke jenjang doktoral (S3). Menariknya adalah, FEUI mewajibkan para penerima beasiswa ini mengambil spesialiasi yang berbeda-beda. Tidak boleh ada penerima beasiswa yang mengambil spesialisasi yang sama ke berbagai penjuru dunia. Ada yang mengambil Industrial Economic, Green Economic, Economic Policy, dan lain-lain. Mengapa FEUI mewajibkan penerima beasiswa mengambil spesialisasi yang berbeda? Karena FEUI sudah memperkirakan, atau setidaknya mempunyai firasat bahwa, keadaan ekonomi ke depan akan berubah platformnya. Akan timbul masalah-masalah yang tidak ada sebelumnya, karena mereka yakin, konstelasi dunia akan berubah. Pusat ekonomi pun akan bergeser ke Asia dan isu lingkungan menjadi isu yang strategis. Mereka berpikir bahwa, kedepannya FEUI harus mempunyai para doktor yang berbeda keahliannya, sehingga antisipasi perubahan kehidupan ekonomi dapat tertanggulangi. Apa yang diperkirakan FEUI benar. Siapa yang menyangka perusahaan sebesar Lehman and Brothers dapat kolaps dalam waktu singkat, dan isu lingkungan menjadi isu yang harus diperhitungkan. Mereka mengantisipasinya dengan men-diversifikasi-kan keahlian para pengajarnya.

Dunia memang berubah. Muncul yang namanya generasi social media. Model perdagangan berubah sedemikian hebat. Arus informasi tidak hanya didominasi oleh media besar. Seseorang yang hanya bermodal akun di socmed pun bisa mempengaruhi opini publik. Tidak hanya model perdagangan, model komunkasipun terus berubah. Hal inilah apa yang disebut oleh Hermawan Kartajaya sebagai New Wave Era. Sebuah perusahaan akan survive ditengah perdagangan saat ini dengan mendiversifikasikan model usahanya. Kita lihat PT. Telekomunikasi Indonesia, merubah model bisnisnya yang dulu hanya sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi menjadi strategi Telecomunication, Information, Multimedia, and Edutaiment (TIME).

Lalu bagaimana dengan SKI. Saya baru menyadari sekarang bahwa SKI terlambat mengantisipasi perubahan ini. SKI, terutama KDR, masih menggunakan cara-cara yang lama dan standart yang lama dalam mengelola kader. KDR terlalu fokus untuk menstandarkan kader bentukan tanpa men-divesifikasi-kan kemampuan kader. KDR terlalu terjebak dengan apa yang disebut sebagai 10 Muwashofat Tarbiyah. Apakah menggunakan muwashofat tarbiyah adalah hal yang buruk? Tentu saja tidak. KDR memang harus punya koridor, tetapi yang menjadi masalah adalah, ketika KDR jarang mencoba mendivesifikasikan keahlian para kader. Saya ambil contoh sederhana. Tentang Mantuba, semua kader distandartkan, atau setidaknya ada upaya menstandartkan, untuk membaca buku tentang pergerakan Islam yang hampir sejenis. Kebanyakan adalah buku terbitan Pro-U atau penerbit sejenisnya. Padahal tidak semua kader mempunyai passion dalam buku bacaan tersebut, dan yang lebih esensial lagi adalah, tidak semua masalah yang ada sekarang, solusinya ada dalam buku itu. Akibatnya adalah, ketika ada permasalahan yang dihadapi oleh SKI, dan itu adalah masalah baru, yaitu masalah yang tidak pernah dihadapi sebelumnya, SKI keteteran dalam menghadapi itu. Contohnya adalah, jarang dari kader SKI yang mempunyai pemahaman tentang marketing di social media, sedangkan di luar sana, “kompetitor” dari SKI sudah menguasai itu. Dampaknya sangat besar, bahwa “kompetitor” SKI mempunyai kemampuan dalam memainkan opini publik kampus atau promosi yang lebih keren. Setelah saya renungkan, karena jarang dari kader SKI yang paham betul tentang Social Media Marketing.

Tantangan dan Kesempatan

Tantangan dakwah kedepan akan semakin berat. Tidak ada konstelasi yang benar-benar solid dalam target pasar SKI. Generasi social media akan terus tumbuh. Opini publik kampus bisa dipengaruhi oleh 140 karekter yang ada di twitter. Pasar benar-benar menjadi flat. Apa yang disebut oleh Hermawan sebagai New Wave Era benar-benar terjadi. Orang akan sangat mudah untuk mengungkapkan suka atau tidak sukanya pada sesuatu dan dapat menyebarkannya dengan sangat mudah dan cepat. Masalah yang akan dan sedang dihadapi SKI akan semakin beragam. Akan muncul masalah-masalah baru, bahkan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Akan menjadi sangat berbahaya jika SKI, dalam hal ini KDR, tidak berupaya men-diversifikasi-kan keahlian kadernya dan masih berupaya menstandartkan semua kemampuan kader dengan standart lama. Memakai 10 muwashofat itu penting, tapi men-diversifikasikan keahlian kader adalah urgent. Kesempatan perbaikan masih terbuka lebar mengingat kepengurusan baru saja terbentuk. Banyak suntikan kader baru yang masih bisa dibentuk secara berbeda.

Apa yang harus dilakukan?

Mendiversifikasikan keahlian kader memang pekerjaan yang susah-susah gampang. Menjadi susah ketika KDR tidak bisa menangkap perbedaan passion yang dimiliki para kader. Ketika KDR ingin mengubah atau membentuk seorang kader dengan standart yang tidak sesuai dengan passion kader tersebut, akan terjadi resistensi seseorang terhadap program pembinaan kader. KDR harus menangkap perbedaan passion para kader, dan memetakannya. Sebaiknya KDR mengumpulkan kader berdasarkan passionnya, lalu membuat program kecil, tidak perlu sering, sebagai sarana kader untuk menumpahkan dan mengembangkan passionnya. Kenapa program ini sebaiknya kecil? Agar energi KDR tidak terlalu terbuang untuk program ini. Dan mengapa jangan terlalu sering? Karena kalau dijalankan secara sering, bisa mendistorsi program utama pembentukan kader. Kader yang suka menulis atau aktif di SocMed sebaiknya dikembangkan untuk memenangkan pembentukan opini publik kampus. Kader yang menyukai marketing harus ada program pengembangannya agar rencana marketing SKI bisa berjalan efektif dan efisien. Begitu pula dengan bakat lain seprti public speaking, negosiator, desain/gambar, coding, dan sebagainya.

Masalah Baru? Ga Masalah....

Jika KDR berhasil membentuk keahlian kader yang berbeda-beda, saya rasa SKI akan lebih mulus dalam menjalankan program kedepan. Kita akan punya beberapa kader yang jago negosiasi, beberapa jago marketing, beberapa jago public speaking dan sebagainya. Jika ada masalah tentang sponsor, kita pakai kader yang jago nego. Kalau ada isu yang berkembang di SocMed, kita pakai kader yang mengerti tentang pembentukan opini di SoMed. Bisa dibayangkan kalo kita punya kader yang semua jago public speaking, tapi ga ada yang ngerti marketing, Marketing Plan yang dimiliki SKI akan terbantai dengan “kompetitor” SKI yang paham marketing. Itulah sebabnya saya mengatakan bahwa menstandarkan dengan 10 Muwashoffat Tarbiyah itu penting, tapi diservifikasi keahlian kader itu urgent.

Salam Optimis untuk Indonesia...

@Hardian_cahya

Rabu, 22 Februari 2012

Renungan

Februari 22, 2012 0
Renungan

Jika kamu ditanya “Bagaimana indahnya suara piano dan nikmatnya bernyanyi?” oleh kawanmu yang tidak bisa mendengar dan bicara,

Maka kamu akan merasakan nikmatnya telinga dan mulut.

Jika kamu ditanya ”Bagaimana indahnya pelangi?” oleh kawanmu yang tidak bisa melihat,

Maka kamu akan merasakan nikmatnya mata.

Jika kamu ditanya “Bagaimana nikmatnya berlari-lari di taman?” oleh kawanmu yang tidak bisa berjalan,

Maka kamu akan merasakan nikmatnya kaki.

Lalu mengapa kamu mengeluh ini dan itu padahal Tuhanmu sudah memberi banyak nikmatnya kepadamu yang tidak semua orang bisa merasakan.

Maka pantaslah jika Tuhanmu berfirman “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan.”

Let’s say Alhamdulillah...